Sabtu, 07 Juni 2014

NOVEL Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala [BAHASA INDONESIA]


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala
eA_A fà|Çx
Judul Asli : Headless Ghost
Judul indonesia : Misteri Hantu Tanpa Kepala
Pengarang : R.L Stine
Tahun Terbit (Amerika) : 1995
Tahun Terbit (Indonesia) : 1996
Penerbit (Amerika) : Scholastic Inc
Penerbit (Indonesia) : Gramedia Pustaka Utama
Ebook by slappy7x
MISTERI HANTU TANPA KEPALA
SYNOPSIS
CEPAT TEMUKAN KEPALAKU ATAU KAU AKAN...
Semua orang tahu tentang Hill House, atraksi turis terbesar di Wheeler
Falls, karena rumah itu berhantu. Hantu anak laki-laki berusia tiga belas
tahun, hantu tanpa kepala.
Duane dan Stephanie sering ikut tur di Hill House, mereka tidak
gentar meski rumah itu gelap, mengerikan dan sangat menyeramkan.
Namun demikian, mereka belum pernah melihat hantu di sana, sampai suatu
malam ketika mereka memutuskan untuk melakukan pencarian...
Pencarian kepala si hantu anak laki-laki..
fotoselebriti.net
1.
Stephanie Alpert dan aku menghantui daerah di sekitar tempat tinggal kami. ide itu kami
dapat waktu Halloween lalu.
Di daerah kami banyak anak kecil, dan kami paling senang menakut-nakuti mereka.
Kadang-kadang, dengan  memakai topeng, kami menyelinap keluar malam-malam, lalu
melongok ke jendela kamar anak-anak. Sering kali kami meletakkan tangan dan jari dari
karet di ambang jendela mereka. tak jarang kami buka kotak surat dan menyelipkan barang-barang yang pasti bakal membuat mereka menjerit-jerit.
Stephanie dan aku juga sering bersembunyi di balik semak-semak, dan meneriakkan suara-suara aneh,  raungan binatang atau erangan hantu. Stephanie paling jago melolong seperti
manusia serigala. dan aku paling suka mendongakkan kepala lalu  berteriak  keras-keras.
saking kerasnya, daun-daun di pepohonan sampai bergetar.
usaha kami tidak sia-sia, hampir semua anak di daerah kami jadi ngeri , setiap hari mereka
mengintip dulu dari pintu rumah masing masing untuk  memastikan keadaan aman, baru
setelah itu mereka berani keluar. malam hari, sebagian anak tidak berani keluar sendirian.
bangga juga rasanya jadi makhluk yang ditakuti, pada siang hari kami cuma Stephanie Alpert
dan  Duane  Comack, dua anak berumur dua belas  tahun yang tidak berbeda dari anak-anak
lain. tapi pada malam hari, kami menjelma menjadi si teror kembar dari wheeler falls.
tak ada yang tahu, tak seorang pun tahu identitas kami yang sebenarnya, kami berdua duduk
di kelas enam di  Wheeler Middle  School, kami sama-sama bertubuh tinggi kurus. hanya saja
stephanie beberapa senti lebih tinggi, sebab rambutnya lebih tebal.
banyak orang menyangka kami kakak adik, tapi sebenarnya tidak, kami sama-sama tidak
punya kakak atau adik, meski sama sekali tidak m embuat kami sedih
kami tinggal di jalan yang sama, rumah stephanie berhadapan dengan rumahku. kami biasa
bertukar makan siang meski bekal kami sama yaitu roti selai kacang
kami anak-anak biasa, seratus persen normal, hanya saja kami punya hobi rahasia di m alam
hari, mau tahu bagaimana kami sampai jadi si teror kembar? ceritanya agak panjang...
*****
Semuanya berawal dari perayaan halloween yang lalu. udara malam itu sejuk, bintang-bintang bertaburan di langit. bulan purnama seperti melayang di atas pohon-pohon gundul.
aku sedang berdiri di depan jendela kamar stephanie dengan kostum. malaikat maut-ku yang
seram. aku berjinjit, berusaha mengintip kostum yang ia pakai.
“ hey, kau curang duane, jangan mengintip kostumku” seru stephanie di balik jendela yang
tertutup, lalu ia menarik tirai.
"Aku ridak mengintip" kataku "Aku cuma meregangkan otot"
Sebenarnya  aku  memang sudah tak sabar ingin melihat kostum yang ia pakai kali ini. setiap
halloween ia tampil dengan kostum yang keren sekali. tahun lalu seluruh tubuhnya dibalut
kertas toilet hijau sampai menggembung seperti bola, benar, ia jadi selada raksasa. Tapi tahun
ini rasanya aku mengalahkan dia, aku benar-benar bekerja keras untuk menyiapkan kostum
malaikat maut-ku. aku pakai sepatu bersol tebal, cukup tebal untuk membuatku lebih tinggi
dari stephanie. jubahku yang hitam dan bertudung begitu panjang sampai menyapu tanah.
rambutku yang ikal kusembunyikan di balik lapisan karet, supaya kepalaku berkesan gundul.
dan wajahku kupoles makeup, sehingga warnanya seperti roti bulukan.
Bahkan ayahku menolak menatapku. katanya ia takut perutnya mual, berarti kostumku sukses
berat, aku sudah tak sabar untuk membuat stephanie memikik  ketakutan, kuketuk-ketuk
jendelanya dengan arit malaikat mautku, “Hei steph, cepatlah” aku berkata padanya “aku
sudah mulai lapar, kita bisa tidak kebagian permen nanti”
Aku menunggu dan menuggu, aku berjalan mundar-mandir di pekarangan depan, jubahku
yang panjan menyapu rumput dan daun-daun mati.
“Hey, lama sekali kau” aku berkata sekali lagi, ia  belum muncul juga, sambil mendengus
kesal aku berbalik ke jendelanya. dan tiba-tiba seekor binatang besar berbulu menerjangku
dari belakang dan menggigit kepalaku.
2
Ehm, sebenarnya sih, kepalaku tidak sampai digigit, makhluk itu hanya mencoba menggigit,
ia mengeram -ngeram, berusaha  menyambar leherku dengan gigi taringnya yang panjang.
Aku mundur terhuyung-huyung. Makhluk itu menyerupai kucing hitam raksasa, seluruh
tubuhnya tertutup bulu hitam kasar, gumpalan -gumpalan lendir berwarna kuning melekat di
telinga dan hidungnya yang hitam. Gigi taringnya yang panjang dan runcing berkilau-kilau
dalam gelap.
Makhluk itu mengeram lagi dan mengayunkan cakarnya. “permen.. mana permenmu?”
“stephanie...?” ujarku terbata-bata. itu pasti stephanie, kan?
Sebagai jawaban,  makhluk itu memukul perutku dengan cakarnya. saat itulah kulihat arloji
mickey mouse kepunyaan stephanie di pergelangan tangannya. “Wow, stephanie, kostummu
keren banget, kau benar-benar...” aku tidak sempat menyelesaikan kata-kataku, stephanie
menyeretku, lalu merunduk di balik semak-semak.
lututku membentur trotoar, “Aduh” aku berteriak  “apa-apaan sih? kau sudah gila?”
sekelompok anak kecil berkostum lewat di depan kami, stephanie melompat maju dan
mencegat mereka “Arrrrrrgggghhhhh!” ia menggeram. Anak-anak itu benar-benar ketakutan,
mereka langsung membalik dan kabur pontang-panting, saking ngerinya, tiga dari mereka
sampai melepaskan kantong berisi permen yang telah mereka kumpulkan, stephanie langsung
memungut kantong-kantong itu. “Hmmm... asyik”
“Wow,  kau membuat mereka lari terbirit-birit” ujarku sambil memperhatikan anak-anak itu
lari ke ujung jalan, “hebat”. Stephanie tertawam, tawanya konyol dan melengking, mirip
suara ayam yang digelitik, aku selalu ikut tertawa kalau mendengarnya, “yeah, seru juga”
sahutnya “Lebih seru dari mengumpulkan permen”
Jadi, malam itu kami habiskan dengan menakut-nakuti anak kecil, permen yang kami dapat
tak seberapa, tapi kami benar-benar gembira, “coba kalau kita bisa begini setiap malam”
ujarku ketika kami berjalan pulang.
“kenapa tidak bisa?” balas stephanie sambil nyengir. “Kita perlu tunggu halloween untuk
menakut-nakuti anak kecil, Duane, tahu kan, apa yang kumaksud?” Ya, aku tahu.
Stephanie mendongakkan kepalanya, lalu tertawa seperti ayam, mau tak mau aku ikut
tertawa, jadi, begitulah awal mula stephanie dan aku menghantui daeah kami, kalau malam
sudah larut, si teror kembar beraksi di segala penjuru, pokoknya tak ada tempat yang aman.
Ehm.. tepatnya hampir tak ada tempat yang aman, ada satu tempat yang terlalu menakutkan,
bahkan bagi stephanie dan aku, yaitu rumah tua di blok sebelah. orang-orang menyebutnya
rumah tua di blok sebelah. Orang-orang menyebutnya Hill House, mungkin karena letaknya
di atas bukit tinggi Hill Street.
Memang hampir di semua kota ada rumah hantu, tapi Hill House benar-benar ada hantunya,
Stephanie dan aku tahu pasti, sebab di situlah kami ketemu hantu tanpa kepala.
3
Hill House adalah atraksi wisata paling laku di Wheeler Falls, karena Hill House memang
satu-satunya atraksi wisata di sini.
barangkali kau pernah dengar tentang Hill House,  rumah itu sering disebut dalam banyak
buku, Tur Hill House untuk para pengunjung diadakan setiap jam, dipandu oleh orang-orang
berseragam hitam. Gerak-gerik mereka benar-benar seram, dan mereka selalu menceri takan
kisah-kisah menakutkan tentang rumah itu. kadang-kadang aku sampai merinding kalau
mendengar cerita-cerita mereka.
Stephanie dan aku paling senang ikut tur itu, apalagi kalau dipandu oleh Otto, Otto pemandu
favorit kami, Otto bertubuh besar dan berkepala botak, tampangnya seolah bisa menembus
tubuh kita, suaranya menggelegar, kadang-kadang kalau Otto mengantar kami dari satu ruang
ke ruang lain, ia sengaja merendahkan suara. Saking pelannya, suaranya nyaris tak terdengar,
lalu ia membelalakkan mata, m engacungkan tangan dan berteriak, “Itu hantunya! itu!”
Bukan cuma tampang Otto yang seram, senyumnya juga, entah sudah berapa kali stephanie
dan aku ikut tur Hill House. Yang jelas, saking seringnya, kami sudah pantas jadi pemandu,
kami tahu semua ruangan,  semua tempat di mana orang pernah melihat hantu, hantu
sungguhan!
kami betah sekali di tempat-tempat seperti itu, mau tahu kisah Hill House? Hmm.. beginilah
ceritanya yang biasa dituturkan Otto, Edma, dan para pemandu lain.
***
Hill house sudah berumur dua ratus tahun, dan hantu sudah gentayangan sejak hari pertama
orang-orang mengumpulkan batu untuk membangunnya, seorang kapten kapal yang masih
muda membangun rumah ini untuk istri yang baru dinikahinya, tapi pada saat
pembangunannya selesai, si kapten kapal harus bertugas di laut.
Istrinya tinggal seorang diri di rumah yang dingin dan gelap, dengan begitu banyak kamar
dan lorong-lorong yang sepertinya tak berujung, berbulan -bulan ia memandang keluar dari
jendela kamar dan lorong-lorong yang sepertinya tak  berujung, berbulan-bulan ia
memandang keluar dari jendela kamar tidur, jendela yang menghadap ke sungai, dengan
sabar ia menanti kepulangan suaminya.
Musim deingin berlalu, disusul musim semi, lalu musim panas, tapi si kapten tak pernah
kembali, ia hilang  di laut, satu tahun setelah kapten kapal hilang, hantu si kapten kapal, ia
kembali dari alam baka, kembali untuk mencari istrinya, setiap malam ia berkeliling
membawa lentera dan memanggil-manggil nama istrinya, “Annabel! Annabel!!”
tapi Annabel tidak pernah menyahut, ia begitu sedih sehingga pergi dari rumah besar itu, ia
tidak mau melihat rumah itu lagi,  tahun demi tahun berlalu, dan banyak orang mendengar si
hantu memanggil-manggil di malam hari, “Annabel! Annabel!” orang-orang bisa mendengar
suara si hantu, tapi tak pernah ada yang melihatnya.
Kemudian, seratus tahun lalu, rumah itu dibeli oleh keluarga Craw, mereka punya anak laki-laki bernama Andrew yang berumur tiga belas tahun, Andrew nakal dan jahat, ia paling
senang berbuat iseng terhadap pelayan,  ia sering menakuti mereka, ia bahkan pernah
melempar kucing dari jendela, dan ia kecewa karena kucing itu tidak mati, orang tua Andrew
pun kewalahan menghadapi anak mereka yang brengsek. Karena itu Andrew lebih sering
menghabiskan waktu sendirian, menyelidiki rumah tua mereka, atau mencari -cari masalah.
Suatu hari, ia menemukan sebuah ruangan yang belum pernah dimasukinya. Pintu kayu yang
berat didorongnya sampai membuka, pintu itu berderit-derit, kemudian  ia  melangkah masuk,
di atas meja kecil ada lentera yang menyala redup, selain itu kossng, tak ada benda apapun,
juga tak ada yang duduk di meja.
“Aneh” pikir Andrew, “kenapa ada lentera menyala di ruangan yang kosong?” Andrew
menghampiri lentera itu, ketika ia membungkuk untuk mematikannya, si hantu muncul, hantu
si kapten kapal!
Hantu itu kini telah jadi makhluk tua yang mengerikan, kukunya yang panjang dan putih
tumbuh melingkar-lingkar, gigi-gigi hitam yang retak menyembul dari balik bibir yang kering
dan pecah-pecah, dan wajahnya setengah tertutup janggut yang kasar.
Andrew membelalakkan mata karena ngeri, “Siapa kau?” tanyanya sambil tergagap-gagap,
Hantu itu tidak menyahut, ia malah melayang mendekati lingkaran cahaya lentera, menatap
Andrew sambil mendelik, “Siapa kau? mau apa kau? kenapa kau ada di sini?” tanya Andrew.
hantu itu tetap membisu  Andrew berbalik, berusaha kabur, tapi sebelum sempat ia menjauh,
hembusan napas si hantu sudah terasa di tengkuknya, Andrew berusaha meraih pegangan
pintu, tapi hantu tua itu melayang mengitari dirinya, berputar-putar bagaikan asap hitam di
tengah cahaya kuning.
“jangan! berhenti!” Andrew menjerit. “lepaskan aku!” hantu itu membuka mulut,
memperhatikan lubang hitam yang dalam, seolah tanpa dasar. Akhirnya ia angkat bicara, ia
berbisik dengan suara menyerupai gemerisik daun-daun mati. “kau sudah melihatku, kau
tidak bisa pergi”
“jangan”  Andrew menjerit, “lepaskan aku!” hantu itu  tidak  menghiraukan teriakan-teriakan
Andrew, ia mengulangi ucapannya dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri. “kau
sudah melihatku, kau tidak bisa pergi” si hantu tua meraih kapala Andrew, jarinya yang
sedingin es memegang wajah anak itu, lalu tangannya mengencang, mengencang, tahu apa
yang terjadi setelah itu?
4
Si hantu mencopot kepala Andrew dan menyembunyikannya di suatu tempat di Hill House!
Setelah menyembunyikan kepala Andrew di rumah yang besar dan gelap, hantu si kapten
kapal melolong panjang sehingga dinding-dinding batu yang tebal ikut bergetar, lolongan
mengerikan itu berakhir dengan seruan, “Annabel! Annabel!”
Setelah itu si hantu tua itu lenyap untuk selamanya, tapi jangan disangka Hill House sudah
bebas dari hantu yang bergentayangan di lorong-lorong panjang, sejak itu hantu Andrew yang
berkeliaran di Hill House. Setiap malam  hantu anak malang itu menyusuri lorong-lorong,
keluar masuk ruangan untuk mencari kepalanya yang hilang.
Di seluruh rumah, kata Otto dan para pemandu lainnya, kita bisa mendengar langkah si hantu
tanpa kepala, mencari, selalu mencari, dan sekarang setiap ruangan di Hill House punya kisah
seram sendiri-sendiri, apakah cerita itu benar?
hmm... Stephanie dan aku sih percaya, karena itulah kami begitu sering ikut tur, rasanya
sudah seratus kali kami menjelajahi rumah tua itu, Hill House memang mengasyikkan, paling
tidak, semua begitu, sebelum Stephanie dapat ide gemilang lagi, Selain itu Hill House tidak
lagi mengasyikkan, setelah itu, Hill House jadi tempat yang benar-benar menyeramkan.
5
Semuanya bermula beberapa minggu lalu, waktu Stephanie tiba-tiba dilanda rasa bosan. Saat
itu sekitar pukul sepuluh malam, kami sedang berkeliaran di luar rumah, kami melolong -lolong di depan jendela Geena Jeffers, lalu kami pergi ke rumah sebelah, rumah Terri Abel,
kami masukkan beberapa potong tulang ayam ke kotak suratnya, soalnya semua orang pasti
merinding kalau mereka meraih ke dalam kotak suratm dan ternyata meraba-raba tulang.
Lalu kami menyeberang jalan, menuju ke rumah Ben Fuller, rumah Ben rumah terakhir yang
kami kunjungi malam itu, Ben teman sekelas kami, dan untuknya kami telah menyiapkan
acara khusus, masalahnya begini,  Ben paling takut pada serangga  dan itu berarti ia paling
gampang ditakut-takuti.
Ia selalu tidur dengan jendela terbukam biarpun udara di luar lumayan dingin, maka stephanie
dan aku suka mengintip lewat jendelanya, dan menimpuk Ben yang sedang tidur dengan laba-laba karet,  laba-laba karet itu menggelitik wajahnya, ia bangun dan langsung menjerit-jerit,
setiap kali selalu begitu.
Ia menjerit-jerit, dan berusaha turun dari tempat tidur, tapi malam itu,  waktu kami melempar
laba-laba  karet ke wajah Ben yang sedang bermimpi indah, Stephanie berpaling padaku dan
berbisik  “Aku ada ide bagus”, “apa?” aku bertanya, tapi sebelum aku sempat bertanya lebih
jauh, Ben sudah menjerit.  kami mendengar ia  berteriak-mekik dan jatuh ke lantai,
BRUKKK...
Stephanie dan aku langsung ber-high five. setelah itu kami kabur, melintasi pekarangan-pekarangan belakang yang gelap, langkah kami berdebam-debam di tanah yang keras dan
hampir beku, kami berhenti di samping pohon ek terbelah di pekarangan depan rumahku,
batang pohon ek itu  terbelah dua dari atas sampai bawah, tapi ayahku tidak tega
menebangnya.
“Ide apa yang kau maksud?” aku bertanya pada Stephanie, napasku terengah -engah, matanya
yang gelap tampak bebinar-binar, “begini,  nih, setiap kali kita gentayangan di sini, anak-anak
yang kita takut-takuti tetap anak-anak yang itu juga, lama-lama aku bosan” , sebenarnya aku
belum bosan, tapi aku tahu  kalau Stephanie sudah punya ide  tak ada y ang  bisa
menghentikannya. “jadi, kau mau cari anak-anak baru untuk ditakut-takuti?” tanyaku
padanya.
“Bukan, bukan anak-anak baru, sesuatu yang baru” ia berjalan mengelilingi pohon, “kita
butuh tantangan baru” , “Apa?” tanyaku , “selama ini kita selalu meggunakan trik-trik yang
kekanak-kanakan” ia  mengeluh  “kita cuma membuat suara-suara aneh, lempar-lempar barang
lewat jendela dan semua anak sudah ketakutan setengah mati. ini terlalu mudah” , “yeah” aku
membenarkan “tapi lucu”
Komentarku tidak ditanggapinya, ia menyembulkan kepala lewat celah di batang pohon.
“Duane, apa tempat yang paling seram di Wheeler Falls?” , itu pertanyaan mudah, “Apalagi
kalau bukan Hill House” kataku
“benar, dan kenapa tempat itu begitu seram?” “karena cerita-cerita hantunya yang selalu
mencari kepalanya”
“Yes!” Stephanie  berseru, kepalanya menyembul lewat celah di batang pohon ek, seolah
melayang, sementara tubuhnya tertutup batang pohon. “Si Hantu tanpa Kepala”, ia berkata
dengan suara direndahkan, lalu tertawa tergelak-gelak, “apa-apaan ini? ujarku “kau mau
menakut-nakuti aku sekarang?”
Kepalanya seakan-akan melayang dalam kegelapan, “kita harus gentayangan di Hill House”
ia berbisik
6
“hah?” aku berseru “apa maksudmu,  Stephanie?” “kita  ikut tur Hill House, lalu di tengah
jalan kita memisahkan diri” Stephanie menyahut dengan tampang serius
Aku menggelengkan kepala “yang benar saja, untuk apa?” wajah Stephanie seperti bercahaya
dalam gelap, “kita memisahkan diri untuk mencari kepala hantu  itu” aku menatapnya sambil
melongo “kau bercanda ya? Aku melangkah ke balik pohon dan menarik tubuhnya dari celah,
kepalanya yang seperti melayang itu mulai membuatku merinding.
“tidak, duane, aku tidak bercanda” sahut Stephanie, lalu ia mendorongku ke belakang “kita
perlu tantangan, kita perlu sesuatu yang baru, gentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti
semua yang kita kenal, itu permainan anak-anak, dan aku sudah bosan”
“memangnya kau percaya cerita tentang kepala yang hilang itu? itu cuma cerita hantu, biar
kita  cari sampai botak, kepala itu tak bakal kita temukan, karena kepala itu memang tidak
ada. itu kan cuma cerita yang sengaja dikarang untuk para turis”
Stephanie menatapku sambil memicingkan mata, “Sepertinya kau ngeri, Duane” “hah? aku?”
suaraku agak melengking, tiba-tiba bulan menghilang di balik awan, dan pekarangan depan
semakin gelap, aku merinding, aku langsung merapatkan jaket, “aku bukannya takut
menjelajahi Hill House berdua saja, tapi menurutku kita cuma buang-buang waktu”
“duane kau gemetaran” dia mengejekku “gemetaran karena ngeri” “sembarangan” aku
memprotes “Ayo, kita ke Hill House sekarang juga, nanti kita lihat siapa yang ngeri”
Stephanie tersenyum lebar, ia mendongakkan kepala dan melolong panjang, melolong untuk
merayakan kemenangannya. “ini baru tantangan yang pantas untuk si teror kembar” ia
berseru, lalu mengajakku berhigh-five keras sekali , telapak tanganku sampai perih.
aku terpakasa mengikutinya ke Hill Street, sepanjang jalan aku tidak mengucapkan sepatah
kata, apakah aku ngeri? sedikit mungkin. kami mendaki bukit yang terjal dan penuh alang-alang, lalu berhenti di tangga depan Hill House, malam-malam begini rumah tua itu kelihatan
lebih besar, rumahnya berlantai tiga, dengan banyak menara, balkon, dan lusinan jendela
yang semuanya gelap.
Semua rumah di daerah kami terbuat kari batu bata dan kayu. Hill House satu-satunya yang
terbuat dari lempengan batu, lempengan batu warna abu-abu tua. Aku selalu menahan napas
kalau berdiri di sana. dinding-dindingnya tertutup lapisan lumut  yang tebal berwarna hijau,
lumut berumur dua ratus tahun, baunya pasti bukan seperti kebun bunga.
Aku memandang ke atas, mengamati menara bulat yang menjulang ke langit malam, sebuah
patung itu menatap kami sambil menyeringai, seakan-akan menantang kami untuk masuk.
lututku mandadak lemas, rumah itu gelap gulita, hanya ada satu lilin di atas pintu depan, tapi
tur wisatanya masih berlangsung, tur terakhr berangkat pukul setengah sebelas setiap malam,
menurut para pemandu, tur malam hari paling seru, karena peluang untuk melihat hantu juga
paling besar
Aku membaca prasasti yang ditempelkan di samping pintu.
SILAHKAN MASUK KE HILL HOUSE DAN HIDUP ANDA AKAN BERUBAH,
UNTUK SELAMA-LAMANYA
prasasti itu sudah ratusan kali kubaca, dan setiap kali aku menganggapnya lucu walaupun
agak norak, tapi malam itu aku malah merinding, malam itu semuanya berbeda,
“ayolah” ujar Sthephanie sambil menarik tanganku “kita masih sempat ikut tur terakhir” api
lilin berkerlap-kerlip, pintu kayu yang berat di hadapan kami mendadak membuka, membuka
sendiri, aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi pintu itu seolah membuka sendiri
“bagaimana nih? kau jadi ikut tidak? desak Stehanie, ia masuk ke rumah yang gelap, “oke,
oke, aku ikut” kataku dengan berat hati.
7
Otto sudah siap menyambut kami,  setiap kali melihatnya, aku selalu teringat lumba-lumba,
mungkin karena kepala gundulnya yang besar dan licin, mungkin juga karena potongan
badannya memang seperti lumba-lumba raksasa, beratnya pasti sekitar lima puluh kilo.
Seperti biasa, Otto berpakaian  serba hitam, kemeja hitam, celana hitam, kaus kaki hitam,
sepatu hitam, dan sarung tangan tentu saja hitam. itulah seragam yang dipakai semua
pemandu. “wah, coba lihat siapa yang datang!” ia berseru “Stephanie dan Duane!” ia nyengir
lebar, matanya yang kecil tampak bersinar-sinar dalam cahaya lilin.
“Halo pemandu favorit!” Stephanie menyapanya “jam berapa tur berikutnya berangkat?”
kami melewati loket tanpa membayar, saking seringnya kami berkunjung ke Hill House kami
tidak pernah lagi disuruh beli karcis.
“kira-kira lima menit lagi” jawab Otto “tapi.. ehm.. rasanya baru kali ini kalian datang
malam-malam begini” “yeah..” Stephanie berkata, lalu berpikir sejenak untuk mencari alasan
yang masuk akal, “karena lebih seru kalau kita tur malam, benar kan Duane?”  iya menyikut
rusukku.
“Yeah, lebih seru” aku membenarkan, kami masuk ke ruang depan, bergabung dengan
pengunjung lain yang sudah mengunggu, sebagian besar pasangan remaja sudah menunggu,
sebagian besar pasangan remaja yang sedang kencan. ruangan  depan Hill House lebih besar
daripada gabungan ruang duduk dan ruang makan di rumahku, dan selain tangga melingkar di
tengah-tengahnya, tidak ada apa-apa di ruangan itu, tidak ada perabot sama sekali.
bayang-bayang tampak bergerak-gerak di lantai, aku memandang berkeliling, tak ada lampu
listrik, sebagai gantinya, pihak pengelola memasang obor-obor kecil pada dinding yang sudah
retak-retak, dalam cahaya yang menari -nari aku menghitung orang-orang di sekelilingku,
semua ada sembilan orang, cuma Stephanie dan aku yang  masih anak-anak.
Otto menyalakan lentera dan maju ke bagian depan ruangan, ia mengangkat lenteranya dan
maju ke bagian depan ruangan, ia mengangkat lenteranya tinggi-tinggi, kemudian berdeham.
Stephanie dan aku berpandangan sambil nyengir, otto selalu pakai cara yang sama untuk
mengawali tur, menurutnya, lentera itu menambah seram suasana. “ladies and gentleman” ia
berkata dengan suaranya yang menggelegar. “selamat datang di Hill House, kami berharap
anda semua bisa menikmati tur ini, dan kembali dengan selamat” lalu ia tertawa, tawa
menakutkan.
Stephanie dan aku mengikuti ucapan otto selanjutnya dengan menggerak-gerakkan bibir
tanpa bersuara:
“Pada tahun 1795, seorang kapten kapal yang makmur bernama William P. Bell membangun
rumah di atas bukti tertinggi  di Wheeler Falls. Pada waktu itu rumahnya merupakan rumah
paling mewah di daerah ini, berlantai tiga, dengan sembilan tempat perapianm dan lebih dari
tiga puluh kamar, Kapten Bell tidak memperdulikan biaya, kenapa? karena ia bermaksud
menikmati hari tuanya  dalam kemewahan di sini, bersama istrinya yang muda dan cantik,
namun sayangnya takdir berkata lain”
Otto tertawa terkekeh-kekeh, Stephanie dan aku tentu saja ikut tertawa, kami sudah hapal
setiap bagian pidato otto, Otto kembali berbicara “Kapten bell  gugur di laut ketika kapalnya
karam, sebelum ia sempat tinggal di rumahnya yang indah, Istrinya yang masih muda,
Annabel, meninggalkan rumah itu karena dilanda duka yang tak tertahankan”
kini Otto merendahkan suara “tapi tak lama setelah Annabel pergi, hal -hal aneh mulai terjadi
di Hill House” inilah aba-aba otto untuk berjalan ke tangga melingkar yang terbuat dari kayu.
tangga itu sempit dan sudah setua Hill House sendiri, setiap kali Otto naik, tangga itu
berderak-derak dan mengerang-ngerang seperti kesakitan.
Tak seorang pun berbicara ketika kami mengikuti Otto ke lantai dua, Stephanie dan aku suka
bagian ini, karena Otto juga diam saja, ia cuma bergegas menerobos kegelapan sambil
membisu, sementara para peserta tur berusaha untuk tidak ketinggalan. Otto  baru bicara lagi
kalau sudah sampai di kamar tidur kapten Bell,    kamarnya besar, dilengkapi perapian, dan
menghadap ke sungai.
“tak lama setelah Annabel meninggalkan Hill House” Otto menuturkan “Warga Wheeler
Fells mulai melaporkan kejadian-kejadian aneh,  banyak orang mengaku melihat laki -laki
yang mirip almarhum kapten Bell, laki-laki itu selalu terlihat di sini, di jendela ini, dan ia
selalu memegang lentera”
Otto menghampiri jendela dan mengangkat lenteranya “pada malam-malam tanpa angin, jika
orang pasang telinga baik-baik, mereka kadang-kadang bisa mendengarnya memanggil -manggil dengan sedih”
Otto menarik napas dalam-dalam, lalu memanggil pelan-pelan: “Annabel. Annabel.
Annabel..” Otto mengayunkan lentera untuk menambah seram suasana, para peserta tur
tampak menatapnya tanpa berkedip. “Tapi tentu saja masih ada cerita lain” ia berbisik.
8
Sementara kami mengikuti Otto keluar-masuk kamar-kamar di lantai dua, ia bercerita
bagaimana arwah kapten Bell bergentayangan selama seratus tahun di Hill House. “ orang-orang yang tinggal di sini sudah mencoba segala cara untuk mengusirnya, tapi hantu itu tetap
tidak mau pergi” lalu Otto bercerita tentang Andrew, anak laki -laki yang menemukan hantu
itu, dan akibatnya harus kehilangan kepala. “hantu si kapten lenyap,  ia digantikan oleh hantu
anak laki -laki tanpa kepala, tapi itu belum semuanya”
kini kami menyusuri lorong-lorong yang panjang dan gelap, cahaya obor-obor yang terpasang
di dinding tampak berkerlap-kerlip. “Hill House masih diliputi tragedi” Otto melanjutkan,
“tak lama setelah kematian Andrew Craw, adik perempuannya yang saat itu berusia dua belas
tahun, jadi gila, mari kita ke kamarnya sekarang”
Ia menunjukkan jalan ke kamaar Hannah, untuk sampai ke sana, kami harus menyusuri
lorong, Hannah punya koleksi b oneka dari porselen, ia  punya ratusan boneka, Semua rambut
panjang kuning, pipi kemerahan, dan bola mata biru. “Setelah kakaknya tewas mengenaskan,
Hannah jadi gila” Otto berkata dengan suara tertahan, “sepanjang hari, selama delapan puluh
tahun, ia duduk  di kursi goyang di pojok sana, Ia bermain dengan boneka-bonekanya, ia tak
pernah pergi lagi meninggalkan kamarnya, tidak sekalipun”
Ia menunjuk kursi goyang yang sudah tua, “Hannah meninggal di kursi itu, seorang
perempuan tua yang dikelilingi bonekanya” papan-papan berderit ketika Otto melintasi
ruangan, ia menaruh lentera dan duduk di kursi goyang, kursi itu berderak-derak, aku selalu
khawatir kursi itu bakal ambruk karena tak kuat menahan badan Otto yang berat, ia mulai
berayun-ayun. Pelan-pelan, kursi itu terus berderak-derak, kami memeperhatikannya
membisu.
“banyak sekali orang percaya bahwa Hanna yang malang masih di sini” bisik Otto “Mereka
bilang mereka pernah melihat gadis cilik duduk di kursi ini sambil menyisir rambut boneka”
ia terus berayun agar  para peserta tur bisa meresapi ucapannya “dan sekarang kita sampai ke
kisah ibu Hannah” Otto bangkit sambil mendengus, ia meraih lenteranya dan mengajak kami
ke puncak tangga yang panjang dan gelap di ujung lorong
Tak lama setelah tragedi yang menimpa putranya, sang ibu pun mengalami nasib naas, pada
suatu malam ia menuruni tangga ini, lalu terpeleset dan jatuh sampai tewas” Otto memandang
ke kaki tangga, menggelengkan kepala dengan sedih. Hal itu ia lakukan setiap kali mengantar
para peserta tur, seperti  yang kukatakan tadi, Stephanie dan aku sudah hapal semua gerak-geriknya.
Tapi tujuan kami datang malam ini bukan untuk menonton Otto, aku tahu, cepat atau lambat
Stephanie pasti akan melaksanakan rencananya. Jadi aku mulai memandang berkeliling,
mencari-cari kesempatan untuk memisahkan diri dari rombongan, tiba-tiba aku melihat anak
laki-laki itu, ia sedang memeperhatikan kami.
Aku tidak melihatnya waktu masuk tadi, dan aku yakin ia juga belum ada waktu tur dimulai,
menurut hitunganku ada sembilan orang tadi, dan selain Stephanie dan aku, tak ada anak-anak. Anak tiu kira-kira sebaya kami, rambutnya  pirang berombak, kulitnya pucat, pucat
sekali. Celana jeans maupun kau  turtlenecknya berwarna hitam, sehingga mukanya kelihatan
lebih putih lagi. Aku menghampiri  Stephanie, yang berjalan agak jauh di belakang
rombongan. “Siap?” ia berbisik padaku. Otto sudah meulai menuruni tangga, kalau kami jadi
memisahkan diri, sekaranglah waktunya.
Tapi anak laki-laki itu masih memperhatikan kami, matanya sempat mendelik, aku
merinding, “tunggu dulu” bisikku pada Stephanie “ada yang memeperhatikan kita” “siapa?”
“anak laki-laki di sebelah sana” aku melirik ke arah anak itu. Ia masih memperhatikan kami,
ia bahkan tidak pura-pura menengok ke arah lain ketika kami menatap balas tatapannya.
Kenapa ia menatap kamiu seperti itu? apa yang ia mau? hati kecilku meyuruh kami
menunggu, tapi Stephanie tidak mau tahu, “jangan pedulikan dia” katanya “anak itu tidak
penting” ia meraih lenganku dan menarik keras-keras, “ayo”  kami merapatkan punggung ke
dinding lorong yang dingin, sementara pengunjung lain mengikuti Otto menuruni tangga.
Aku menahan napas sampai suara langkah di tangga tak terdengar lagi, kini kami sendirian,
sendirian di lorong yang panjang dan gelap, aku berpaling pada Stephanie, saking gelapnya
wajahnya nyaris tak kelihatan “Sekarang bagaimana?” tanyaku.
9
“sekarang kita  mulai menjelajahi sendiri” Stephanie menegaskan dengan penuh semangat,
sambil menggosok-gosok tangan “ini baru asyik” aku memandang ke kiri -kanan, aku sama
sekali tidak bersemangat, aku malah agak ngeri.
Dari salah satu ruangan di seberang lorong terdengar erangan tertahan, langit-langit di atas
kepala kami derderak-derak, angin mengguncangkan jendela-jendela di ruangan yang baru
saja kami tinggalkan. “Steph.. apa tidak lebih baik kalau kita...?” tapi ia sudah bergegas ke
ujung lorong sambil berjinjit, supaya lantainya tidak berbunyi “ayo Duane, kita cari kepala si
hantu” bisiknya padaku.
Rambutnya yang gelap berkibar-kibar, “Siapa tahu? barangkali saja kita bisa
menemukannuya” “Huh, yang benar saja” sahutku sambil menggeleng-geleng kepala.
sejujurnya, aku tetap beranggapan kami cuma buang-buang waktu, bayangkan, bagaimana
caranya mencari kepala berumur seratus tahun? dan apa yang  harus kita lakukan kalau kita
memang berhasil menemukannya? hii. seperti apa bentuknya? jangan-jangan tinggal
tengkorak.
Aku mengikuti Stephanie menyusuri lorong, tapi kalau boleh pilih, sebenarnya aku lebih suka
berada di tempat lain. Aku lebih suka bergentayangan di sekitar rumah, menakut-nakuti orang
lain, aku tidak suka menakut-nakuti diriku sendiri.
Stephanie masuk ke kamar tidur lain, para pemandu menyebutnya kamar hijau, karena
banyak wallpaper di dinding bermotif tanaman rambat berwarna hijau, motif tanaman itu
menutupi seluruh dinding juga seluruh langit-langit. bagaimana orang bisa tidur di sini? aku
bertanya-tanya, rasanya seperti terjebak di hutan lebat.
kami menyebutnya kamar gatal-gatal, Otto pernah bercerita bahwa enam puluh tahun lalu
sempat terjadi suatu yang mengerikan di kamar ini. Dua tamu yang menginap di sini
terbangun dengan ruam -ruam ungu di kulit mereka, ruam itu bermula di lengan dan jari, lau
menyebar ke wajah dan akhirnya menutupi seluruh tubuh, tubuh mereka penuh bintik-bintik
ungu yang gatalnya minta ampun.
Dokter-dokter dari seluruh dunia dipanggil untuk memepelajari ruam itu, tapi tak ada yang
tahu apa penyebabnya, lebih parah lagi, tak seorang pun bisa mengobatinya. Mereka hanya
bisa menduga ada sesuatu di kamar hijau, yang menyebabkan bintik-bintik ungu itu, namun
teka-teki itu tak pernah terpecahkan. Begitulah kisah yang biasa diceritakan Otto dan
pemandu lain, bisa jadi cerita itu benar bisa jadi semua cerita Otto yang aneh dan menakutkan
itu memang benar, siapa yang tahu?
“Ayo dong Duane!” desak Stephanie “kita harus mulai mencari kepala itu, kita tidak punya
waktu banyak, sebentar lagi Otto akan sadar kita hilang” ia melintasi ruangan dan mengintip
ke kolong tempat tidur. “Steph, jangan!” ujarku, dengan hati -hati aku melangkahi meja rias
pendek  di pojok ruangan. “Sudahlah” aku memohon “kepala hantu itu tak mungkin ada di
sini, kita keluar saja”
Ia tak bisa mendengarku, karena ia sudah menyusup ke kolong tempat tidur, “Steph...?”
beberapa detik kemudian ia keluar lagi, mukanya kelihatan merah ketika ia berpaling padaku,
“Duane!” serunya padaku “Aku...Aku...”
matanya terbelalak, mulutnya menganga lebar, ia memegang kedua pipinya,”ada apa? ada
apa?” aku memiki, tergopoh-gopoh aku mengjampirinya. “Ohhhh, gatalnya! gatalnya minta
ampun!” stephanie meratap-ratap, aku hendak menyahut, tapi suaraku seakan-akan tersangkut
di tenggorokan.
Stephanie mulai menggosok-gosok wajah, dengan panik ia mengusap-usap pipi, kening, dan
dagunya “Aduuhhhh, gatalnya! gatal sekali!” sekarang ia mulai menggaruk-garuk kepala
dengan dua tangan, aku meraih lengannya, dan berusaha mengangkatnya dari lantai, “Kau
kena ruam! ayo kita pulang” seruku “cepat! orang tuamu bisa panggil dokter! dan.. dan.. “
Aku tercengan ketika melihatnya tertawa, aku melepaskan tangannya, melangkah mundur, ia
berdiri, lalu merapikan rambutnya, “ya ampun, Duane” gumamnya “mudah sekali kau ditipu
malam ini” “siapa yang tertipu?” sahutku gusar “Aku cuma mengira...” ia mendorongku “kau
terlalu gampang takut, kok bisa sih kau tertipu oleh tipuan konyol seperti ini?” aku balas
mendorongnya “pokoknya jangan bercanda lagi, oke?” aku mengeram “aku serius, Stephanie,
ini tidak lucu, aku tak bakal tertipu lagi, jadi jangan coba-coba!”
ia tidak mendengarkanku, pandangannya terarah ke belakang, dan saking kagetnya, ia sampai
terbengong-bengong. “Oh.. astaga!” pekiknya “itu kepalanya!”
10
lagi-lagi aku tertipu, aku tidak berdaya, mau tidak mau aku menjerit, aku membalik begitu
cepat sehingga aku nyaris kehilangan keseimbangan dan terjatuh, Aku menoleh ke arah yang
ditunjuk Stephanie, ternyata yang ditunjukkannya cuma gumpalan debu kelabu. “Kena lagi!
kena lagi!” ia menepuk punggungku, mulai tertawa cekikikan.
Aku menggeram kesal sambil mengepalkan tangan, tapi aku tidak berkata sepatah pun,
wajahku panas seperti terbakar, dan pasti merah karena malu, “kau penakut Duane”
Stephanie kembali mengejekku “Akui saja!” “sudahlah kita cari Otto saja” aku menggerutu
“jangan Duane! ini lebih seru, ayo kita coba ke kamar sebelah” ketika melihat aku tidak
membuntutinya, ia berkata,  “Aku tidak akan menakut-nakutimu lagi, aku janji” dalam hati
aku ragu, tapi aku mengikutinya juga, apa yang bisa kulakukan, tak ada pilihan.
Kami melewati lorong sempit yang menuju ke kamar sebelah, kamar itu ternyata kamar
Andrew, Andrew yang malang, yang  mati tanpa kepala. Semua barangnya masih ada,
berbagai macam mainan yang sudah berumur seratus tahun, sepeda tua yang terbuat dari kayu
tampak bersandar pada dinding. Semuanya pasti masih seperti dulu, seperti sebekum Andrew
bertemu dengan hantu Kapten kapal.
Lenteranya di atas meja rias  menimbulkan bayang-bayang biru di  dinding, aku tidak tahu
apakah segala cerita hantu yang pernah kudenga memanf pernah terjadi atau tidak. tapi   aku
punya firasat bahwa kepala Andrew memang ada, maka kami akan menemukannya di sini, di
kamarnya. Mungkin di bawah tempat tidur berkanopi yang kuno, atau tersembunyi di antara
mainan-mainannya yang terselubung debu.
Sambil mengendap-ngendap, Stephanie menghampiri mainan-mainan itu, ia membungkuk,
dan mulai menggeser beberapa barang, pin-pin boling berukuran mini dari kayu, papan
permainan yang warna-warnanya sudah memudar, satu set tentara mainan terbuat dari logam.
“Cepat periksa tempat tidur, Duane!” bisiknya.
Dengan berat hati aku mlintasi ruangan, “Steph, sebenarnya barang-barang ini tidak boleh
dipegang, para pemandu selalu melarang kita memegang apapun di sini” Stephanie
memindahkan sebuah gasing tua “kau menemukan kepala itu atau tidak?” “kau benar-benar
yakin ada kepala yang disembuntikan di sini?” “Duane, kau bagaimana? justru itu yang harus
kita selidiki, ya kan?” aku menghela napas dan menghampiri tempat tidur, percuma saja
berdebat dengan Stephanie, semangatnya sedang berkobar-kobar, ia tidak bisa diajak
kompromi.
Aku mulai mengamati tempat tidur, dulu pernah ada anak laki-laki yang berbaring di sini,
kataku dalam hati. Andrew pernah tidur di bawah selimut ini seratus tahun lalu, pikiranku
membuatku merinding, aku mencoba membayangkan anak laki-laki seumuranku tidur dari
seberang ruangan. Aku membungkuk, menepuk selimut yang bermotif kotak-kotak kelabu
dan cokelat itu, selimutnya terasa dingin dan licin.
Aku meraba bantal-bantal, semuanya tearasa empuk, tak ada yang disembunyikan di situ,
Aku hendak memeriksa kasur ketika selimutnya mulai bergerak, pelan-pelan, diiringi bunyi
gemerisik yang nyaris tak terdengar. Aku membelalakkan mata karena ngeri, selimut  itu
bergeser, seperti ditarik, tapi tak ada siapa-siapa di tempat tidur, Selimut itu bergerak sendiri.
11
Aku harus menahan diri untuk tidak berteriak, “Cepat sedikit dong, Duane!” ujar Stephanie,
aku menoleh dan melihatnya berdiri di ujung tempat tidur. Kedua tangannya memegang
pinggiran selimut, “waktu kita tidak banyak!” ia menegaskan, lalu kembali menarik selimut.
“tidak ad apa-apa di tempat tidur. oke, berarti nanti kita harus cari di tempat lain”
Aku mendesah tertahan, ternyata Stephanie yang menarik selimut dan membuatku merinding,
tak ada hantu di tempat tidur tua itu, tak ada hantu yang  menyingkap selimut untuk
menyergapku. Cuma Stephanie, untung saja dia tidak sempat melihat betapa kagetnya aku,
bersama-sama kami merapikan selimut, ia tersenyum padaku, “Asyik huh?” ujarnya. “yeah”
aku membenarkan, aku berharap ia tidak sadar bahwa aku masih gemetaran, “jauh lebih seru
daripada melempar laba-laba ke jendela Ben Fuller”
“Aku senang jalan-jalan di sini malam hari, apalagi kalau tidak ikut rombongan, seperti
sekarang, aku bisa merasakan kehadiran hantu di sekitar sini” Stephanie berbisik.
“benarkah?” aku tergagap-gagap sambil memandang berkeliling.
Itu dia, di lantai, terselip diantara pintu dan dinding, setengah tersembunyi dalam bayang-bayang, kepala Andrew, kali ini aku benar-benar melihat kepalanya, kali ini bukan tipuan
iseng, Aku benar-benar melihat tengkorak yang bulat. Lubang matanya yang kosong dan
gelap, dua lubang gelap menatapku, mengawasiku, Aku meraih lengan Stephanie, dan
menunjuk, tapi dia juga sudah melihatnya.
12
Aku yang pertama mampu bergerak, aku maju selangkah lagi, aku mendengar bunyi napas, di
belakangku, dekat sekali. Baru berapa detik kemudian, aku sadar, yang kudengaradalah bunyi
napas Stephanie. Aku melangkah ke pojok yang gelap tanpa melepaskan pandangan dari
kepala itu, jantungku mulai berdegup-degup ketika aku membungkuk dan meraih dengan
kedua tangan.
Lubang-lubang matanya yang hitam terus menatapku, mata yang bulat dan sedih, tanganku
gemetaran, pelan-pelan aku memungutnya, tapi kepala itu terlepas dari tanganku, dan
menggelinding, Stephanie berteriak kaget ketika kepala itu menggelinding ke arahnya.
Dalam cahaya lentera yang kemerahan, aku melihat tampangnya yang ketakutan, aku melihat
ia  berdiri kaku seperti patung, kepala itu menggelinding di lantai, membentur sepatunya, lalu
berhenti beberapa senti dari kakinya. Lubang-lubang mata yang hitam menatapnya, “Duane..”
ia memanggilku sambil memandang ke bawah dengan tangan menempel di pipi, “ tak
kusangka, tak kusangka kita akan menemukannya, aku... aku...”
Aku bergegas melintasi ruangan, sekarang giliranku untuk tampil berani, kataku dalam hati,
sekarang giliranku untuk membuktikan aku bukan penakut, yang merasa ngeri pada setiap
bayangan, sekarang giliranku.Kupungtu kepala si hantu dengan dua tangan, kuangkat di
depan hidung Stephanie, lalu kubawa ke arah lentera di meja rias.
Kepala itu terasa keras, dan lebih licin dari yang kuduga, lubang-lubang matanya dalam
sekali, Stephanie tak beranjak  dari sisiku, bersama-sama kami menghampiri cahaya lentera
yang kemerahan. Aku mengerang ketika sadar yang kupegang bukan kepala hantu, Stephanie
juga mengerang ketika melihat yang ada di tanganku.
13
Sebuah bola boling, yang kupegang ternyata sebuah bola boling yang sudah retak-retak, “Ya
ampun” gumam Stephanie sambil menepuk keningnya, pandanganku beralih ke pin-pin
boling yang tergeletak di antara mainan-mainan Andrew “ini pasti bola untuk pin-pin kayu
itu” ujarku pelan
Stephanie mengambil bola itu dari tanganku dan mengamatinya dari segala arah “tapi
lubangnya cuma dua”  aku mengangguk “Yeah, zaman dulu lubang bola boling memang
cuma dua, Ayahku pernah cerita waktu kami pergi main boling, ia juga heran di mana orang
zaman dahulu menaruh jempol mereka”
Stephanie memasukkan jari ke dalam kedua lubang, kedua “lubang mata” ia menggelengkan
kepala, tampak jelas ia kecewa sekali. Suara Otto terdengar menggelegar di bawah, Stephanie
menghela napas “Mungkin lebih baik kita turun saja, dan bergabung lagi dengan yang  lain”
ujarnya sambil menggelindingkan bola boling ke tumpukan mainan.
“Jangan” aku berseru aku belum puas menikmati peranku sebagai si pemberani di antara
kami berdua “sekarang sudah larut malam” kata Stephanie “dan kita akan menemukan kepala
hantu di atas sini” “ya, karena semua ruangan ini sudah seratus kali kita jelajah” sahutku
“Seharusnya kita cari di tempat yang belum kita datangi” Stephanie mengerutkan keningnya.
“Duane.. apa maksudmu?”
“kurasa kepala  hantu itu ada di ruangan yang tidak dilewati tur, mungkin di atas, di lantai
tiga” Stephanie membelalakkan mata “jadi, kau mau naik ke lantai tiga?” aku mengangguk
“Kenapa tidak? kemungkinan besar semua hantunya kumpul di situ, ya kan?”
Ia mengamatiku dengan seksama, aku tahu dia kaget karena aku punya  usul nekat seperti itu.
tapi sebenarnya aku cuma berlagak berani, sebenarnya aku berharap ia akan bilang “Jangan
Duane, kita turun saja” tapi ternyata ia malah nyengir lebar “oke kita ke atas”
14
terserah kau saja, aku terus berpura-pura, semoga tidak sepanjang malam, keberanian si teror
kembar menghadapi ujian berat ketika kami menaiki tangga gelap yang menuju ke lantai tiga,
tangga kayu itu berderak-derak setiap kali kami melangkah.
Di samping tangga sebanarnya ada tanda bertulisan: PENGUNJUNG DILARANG NAIK.
tapi kami tidak peduli, suara Otto tak terdengar lagi, yang terdengar cuma tangga yang
berderit dan berderak di bawah kaki kami, ditambah bunyi jantungku  yang berdegup-degup,
udara teras panas dan lembap ketika kami sampai di puncak tangga, aku memicingkan mata,
memandang ke lorong yang panjang dan gelap, tak ada lentera menyala, tak ada cahaya obor.
Satu-satunya sumber cahaya adalah jendela di ujung lorong, cahaya pucat yang masuk lewat
jendela membuat segala sesuatu tampak kebiru-biruan, suasananya seram sekali. “kita mulai
dari kamar pertama” Stephanie mengusulkan sambil berbalik, ia menepis rambut yang
menggelantung di depan matanya. Udara terasa panas sekali di atas sini, saking panasnya,
keningku sampai basah karena keringat, aku menyekanya dengan lengan jaket, dan mengikuti
Stephanie ke kamar pertama di sebelah kanan.
Pintu kayunya yang berat setengah terbuka, kami menyelinap masuk, cahaya biru pucat
menyorot melalui jendela-jendela yang berlapis debu. Aku menunggu sampai mataku terbiasa
dengan suasana yang remang-remang, kemudian aku memandang ke sekeliling ruangan besar
itu. Ruanagan itu kosong, kosong sama sekali. tak ada tanda-tanda kehidupan, atau hantu.
“Steph, lihat itu!” aku menunjuk pintu kecil di dinding seberang “Ayo kita periksa!”
Kami mengendap-ngendap melintasi lantai kayu, melalui jendela yang berdebu kulihat bulan
purnama di luar, tinggi di atas pohon-pohon yang gundul. Pintu kecil itu ternyata menuju ke
ruangan lain, yang lebih kecil dan lebih panas lagi, di satu dinding ada alat pemanas, dua sofa
model kuno berhadapan di tengah ruangan, selain itu tak ada perabotan apa pun.
“ayo jalan lagi!” Stephanie berbisik, pintu kecil di ruangan yang panas itu juga menuju ke
ruangan lain lagi  “semua kamar di atas sini saling berhubungan” aku bergumam, lalu aku
bersin, dan bersin lagi.    “ssst... jangan ribut Duane!” Stephanie menegurku “hantunya bakal
kabur kalau berisik terus”
“habis bagaimana lagi?” aku memprotes “hidungku paling tidak tahan kalau kena debu” kami
berada di semacam ruang jahit, di meja di depan jendela tampak mesin jahit kuno, kardus di
samping kakiku penuh gulungan benang hitam. Aku membungkuk dan memeriksa kardus,
tak ada kepala yang tersembunyi di sana. Kami melangkah ke raun g berikut, dan tahu-tahu
kami sudah diselubungi kegelapan pekat.
jendela ruangan itu tertutup papan -papan kayu, hanya ada sedikit cahaya yang menerobos
lewat celah. “aku tidak bisa melihat apa-apa”  kata Stephanie, aku merasakan tangannya
meraih lenganku, “di sini terlalu gelap, ayo Duane, kita keluar saja!”
Aku hendak menyahut tapi bunyi brukkk yang keras membuatku terdiam, Stephanie meremas
tanganku, “Duane, suara apa itu?” bunyi brukk itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat “Aku
tidak tahy” jawabku tergagap-gagap “kita tidak sendirian di sini” bisik Stephanie aku menarik
napas dalam-dalam “Siapa itu?” aku memanggil “Siapa yang ada di sini?”
15
“siapa itu?” kataku dengan suara parau, Stephanie meremas-remas tanganku sampai terasa
sakit, tapi aku tidak bergerak, tidak berusaha menjauh darinya. Kudengar suara langkah,
langkah-langkah ringan, aku merinding, tengkukku terasa kaku, aku terpaksa mengunci
rahang supaya gigiku tidak bergemeletuk.
dan kemudian dalam kegelapan kulihat mata berwarna kuning mendekati kami, Empat mata
berwarna kuning makhluk itu bermata empat! aku mengerang tertahan, aku tak bisa bernapas,
tidak bisa bergerak. Aku memandang lurus ke depan, dan pasang telinga, berkedip pun aku
tak sanggup, keempat mata itu berpencar berpasangan, dua ke kanan, dua ke kiri.
“Ohhh” aku  berteriak  kaget ketika semakin banyak mata bermunculan, mata-mata berwarna
kuning tampak di semua sudut, di sepanjang dinding, dan semua berkilat-kilat menatap kami.
Ke mana pun aku menoleh, yang tampak hanyalah mata berwarna  kuning. puluhan mata
kuning mirip mata kucing menatap Stephanie dan aku, sementara kami saling mendesak di
tengah ruangan.
Mata kuning mirip mata kucing.
Mata Kucing!!
ruangan itu penuh kucing, aku tahu karena salah satu  kucing tiba-tiba merintihm dan suara
meooonngg dari ambang jendela akhirnya membuat Stephanie dan aku menarik napas lega.
Seekor kucing menempelkan badannya ke kakiku, Aku kaget setengah mati, melompat ke
samping, dan menabrak Stephanie, ia langsung mendorongku.
kucing-kucing itu mulai mengaung-ngaung, satu lagi menyerempet betisku, “Aku rasa
kucing-kucing ini kesepian” Stephanie tergagap-gagap “jangn-jangan tak pernah ada orang
yang naik ke sini” “masa bodoh” balasku dengan ketus “waktu pertama melihat mata mereka
yang kuning, kupikir... kupikir... entah apa yang aku pikir, tempat ini terlalu seram, ayo , kita
keluar saja!” sekali ini Stephanie tidak membantah
Ia menuju pintu di bagian belakang ruangan, kucing-kucing di sekeliling kami seolah-olah
ingin membentuk paduan suaram terus mengaung  bersahutan.  satu kucing lagi menyerempet
kakiku, kaki Stephanie tersandung seekor kucing, ia jatuh dalam kegelapan, lututnya
berdebam memberntur lantai. Suara kucing itu bertambah keras.
“kau tidak apa-apa?” tanyaku, aku langsung menghampirinyauntuk membantunya berdiri,
tapi saking berisiknya kucing-kucing di sekitar kami, aku tak dapat mendengar jawaban
Stephanie. kami berlari ke pintu, membukanya, dan menyelinap keluar.  Cepat-cepat aku
menutup pintu, seketika suasana kembali hening, “di mana kita?” bisikku “Aku tidak tahu”
Stephanie terbata-bata, ia tidak berani menjauhi dinding, aku berjalan ke jendela yang tinggi
dan sempit, lalu memandang keluar lewat kaca yang penuh debu. jendela itu ternyata
mengahdap ke sebuah balkon yang menjorok dari atap bergenteng kelabu.
Cahaya bulan yang putih pucat masuk melalui jendelam aku berpaling pada Stephanie, “kita
ada di semacam lorong belakang” aku menebak, lorong yang panjang dan sempit itu seakan -akan tak berujung, “kamar-kamar di sini mungkin dipakai oleh para karyawan, oleh Manny,
si penjaga malam, para petuga kebersihan, dan para pemandu”
Stephanie menghela napas, ia memandang ke lorong yang panjang “kita turun saja, cari Otto
dan pengunjung lain, rasanya penjelajahan kita sudah cukup malam ini” aku sependapat, “ di
ujung lorong pasti ada tangga, ayo, kita ke sana!”
Aku berjalan empat atau lima langkah, tiba-tiba kurasakan sentuhan tangan-tangan halus,
tangan-tangan itu mengusap wajahku, tengkukku, tubuhku. Sekujur tubuhku dibelai -belai
oleh tangan-tangan yang tak  kelihatan, tangan-tangan itu seakan-akan mencengkeram
dirikku. “Ohh, Tolong!” Stephanie mengerang, rupanya ia juga sudah dalam cengkeraman
tangan-tangan hantu.
16
Tangan-tangan hantu itu menggerayang diriku, jari -jemari yang kering kerontang dan ringan
seperti udara sudah mencengkeram diriku. Stephanie mengayun -ayun tangan dengan panik. ia
berusaha keras untuk membebaskan diri, “ini seperti jaring” serunya kalang kabut. Aku
mengusap wajahku, rambutku, Aku mencoba berbalik, tapi jari-jemari itu tetap mael ekat,
malah semakin ketat.
Kemudian aku sadar aku bukan dalam cengkeraman tangan-tangan hantu, sementara aku
mengayunkan tangan kian kemarim aku mendadak sadar bahwa kami terperangkap sarang
laba-laba. Sarang laba-laba yang menyerupai tirai tebal, jalinan  benang-benang itu
menyelubungi kami bagaikan jaring nelayan, semakin keras kami meronta, semakin kencang
pula cengkeramannya.
“Stephanie... ini sarang laba-laba” aku berseru, lalu melepaskan gumpalan benang yang
melekat di wajahku. “Tentu saja laba-laba” sahutnya sambil mengayun-ayunkan tangan,
“memangnya kau pikir apa?”
“ehm.. hantu” aku bergumam, Stephanie tertawa mengejek “Aduh Duane, kau terlalu banyak
berkhayal, tapi kalau kau begini terus, kita tak bakal keluar dari sini”
“aku.. aku... aku..” aku tidak tahu harus berkata apa, Aku yakin pikiran Stephanie sebenarnya
sama dengan pikiranku, ia juga menyangka kami ditangkap hantu, tapi sekarang ia berlagak
sok tahu, seakan sejak awal ia sudah tahu bahwa itu cuma sarang lab -laba.
kami berdiri dalam kegelapan  sambil berusaha melepaskan benang-benang lengket itu dari
wajah, tagan, dan tubuh, aku menggerutu dengan kesal, benang-benang itu tidak mau lepas
dari rambutku, “aku bakal gatal-gatal sampai tua” seruku, “ini sih belum seberapa” Sthepanie
bergumam “ada yang lebih parah lagi” aku menarik potongan sarang lab-laba yang melekat
di telingaku, “Hah?”
“coba tebak siapa yang bikin sarang ini” aku tidak perlu berpikir panjang “laba-laba” lengan
dan kakiku mulai gatal, begitu juga punggungku dan tengkukku, jangan-jangan ada laba-laba
yang merayap naik-turun di tubuhku, beratus-ratus laba-laba. Aku langsung lari, Stephanie
langsung melakukan hal yang sama, kami berlari menyusuri lorong yang panjang, sambil
terus menggaruk-garuk dan menepuk-nepuk
“Steph, lain kali kalau kau punya ide bagus, lebih baik simpan saja” aku memperingatkannya,
“sudahlah, yang penting kita harus menemukan jalan keluar dari sini” ujarnya, kami sampai
di ujung lorong, tapi tak ada tangga di sana, jadi bagaimana caranya turun lagi? Ternyata ada
lorong lain yang membelok ke kiri, cahaya redup lilin di atas pintu-pintu tampak menari-nari,
bayang-bayang melintas di karpet bagaikan bintang-bintang yang menggeliat
“ayo” aku menarik Stephanie, kami tidak punya pilihan, kami harus menyusuri   lorong itu,
kami lari berdampingan, semua kamar yang kami lewati gelap dan sunyi. Api lilin-lilin
bergetar ketika kami berlari, bayangan Stephanie dan aku bergerak mendului, seakan -akan
ingin lebih cepat sampai ke bawah.
“Apalagi sekarang?” gumam Stephanie sambil terengah-engah, matanya yang gelap langsung
melebar, kami pasang telinga, aku mendengar suara-suara, suara-suara yang berasal dari
ruangan di ujung lorong. Pintunya tertutup, kudengar seorang laki -laki mengatakan sesuatu,
entah apa aku tak bisa dengar, seorang wanita tertawa, beberapa orang lain ikut tertawa, “Itu
pasti rombongan kita” aku berbisik, Stephanie mengerutkan kening “tidak mungkin” ia
membantah, “rombongan tur tak pernah dibawa sampai ke lantai paling atas”
Kami hampir menghampiri pintu dan kembali pasang telinga, sekali lagi kami mendengar
suara tawa, sepertinya banyak orang sedang bersenda-gurau dan berbicara berbarengan,
sepertinya ada pesta. Aku menempelkan telinga de daun pintu “kurasa turnya baru selesaim
dan sekarang anggota rombongan asyik mengobrol” aku berbisik kepada Stephanie. ia
menggaruk kepala, menarik segumpal benang lengket yang masih menempel di rambutnya.
“Ayo dong, Duane, cepat, buka pintunya, biar kita bisa bergabung lagi dengan mereka” ia
mendesak. “moga-moga Otto tidak tanya ke mana saja kita pergi tadi” ujarku. Aku meraih
pegangan pintu dan membukanya, Stephanie dan aku melangkah masuk, dan seketikan kami
membelalakkan mata.
17
Ruangan itu ternyata kosong, kosong melompong, sunyi dan gelap, “hei, ada apa ini? ke
mana mereka?” seru  Stephanie. Kami maju selangkah, lantai kayu di bawah kaki kami
berderak-derak, itu satu-satunya suara yang terdengar, “aku tidak mengerti” bisik Stephanie
“kita baru saja mendengar suara-suara di sini” “ya” ujarku “ada orang yang tertawa dan
mengobrol, kedengarannya seperti ada pesta” “pesta yang meriah” Stephanie menambahkan
sambil memandang-mandang  berkeliling “yang dihadiri banyak orang” tiba-tiba punggungku
serasa disiram air es “barangkali yang kita dengar bukan orang” aku berbisik.
“bukan suara orang” aku berkata parau “tapi suara hantu” Stephanie langsung melongo “dan
langsung hilang waktu kita membuka pintu?” aku mengangguk “rasanya mereka masih ada di
sini, ih, aku jadi merinding” Stephanie  berteriak  tertahan, “apa maksudmu?” tiba-tiba aku
langsung  merasakan embusan angin dingin menerpa, membuatku gemetaran, rupanya
Stephanie juga merasakannya.
Ia langsung menyilangkan tangan di depan dada “brr...! kau juga merasa ada angin? apa
jendela yang terbuka? kenapa tiba-tiba jadi dingin begini? tanyanya. lalu ia berbisik “jangan -jangan kita tidak sendirian di sini?”  “sepertinya memang begitu” aku menyahut pelan
“jangan-jangan pesta itu bubar gara-gara kita” Stephanie dan aku berdiri seperti patung di
tengah ruangan.
Aku tidak berani bergerak, siapa tahu  semua hantu yang kami dengar tadi sekarang
mengelilingi kami, memandang kami, bersiap-siap untuk memberi pelajaran pada kami.
“Stephanie” bisikku “bagaimana kalau pesta mereka benar-benar bubar karena kita?
bagaimana kalau ruangan ini ternyata memang tempat para hantu?” Stephanie menelan ludah,
tidak menyahut, bukankah Andrew kehilangan kepalanya waktu masuk ke tempat si hantu?
dan bagaimana kalau sekarang kami berada di tempat yang sama? kamar tempat Andrew
beremu denagan arwah si hantu kapten?
“Stephanie,  kurasa lebih baik kita keluar  dari sini” ujarku pelan “sekarang juga”  rasanya aku
mau kabur saja, aku ingin berlari menuruni tangga, kabut dari Hill House, berlari kerumahku
yang hangat, aman dan bebas dari hantu, bebas dari hantu, kami berbalik dan berlari ke pintu.
Apakah hantu-hantu itu akan berusaha mencegah kami? ternyata tidak, kami berhasil keluar,
ke lorong yang diterangi cahaya lilin yang berkerlap-kerlip, terburu-buru aku menutup pintu
“tangganya, mana tangganya?” seru Stephanie, kami berdiri di  ujung lorong menghadap
tembok kokoh, bunga-bunga pada wallpaper di dinding seakan-akan mengembang dan
menguncup dalam cahaya lilin yang menari-nari. Aku menggedor-gedor tembok dengan
kedua tangan “bagaimana cara kita keluar dari sini? bagaimana caranya?”.  Stephanie sudah
membuka pintu di seberang lorong, kau segera menyusul masuk.
“oh!” ruangan itu dipenuhi sosok-sosok menyeramkan, baru beberapa detik kemudian akau
sadar ternyata yang kulihat cuma perabot yang ditutupi kain putih, kursi -kursi dan sofa-sofa
yang terbungkus kain
“mungkin ini ruang duduk para hantu” aku tergagap-gagap, Stephanie tidak mendengarku, ia
telah melewati pintu tebuka di dinding seberang, aku mengikutinya ke ruangan lain yang
penuh peti besar, tumpukan peti itu hampir mencapai langit-langit. kami  memasuki ruang lain
dan ruang lain lagi, jantungku berdegup-degup, leherku serasa dicekik. aku mulai putus asa,
sampai kapan kami harus berlari -lari mencari tangga?
Pintu lain lagi, ruang gelap dan kosong lagi, “hei Steph.. “ bisikku “rasanya  kita cuma
berputar-putar” kami sampai di sebuah lorong, akhirnya kami sampai di pintu yang belum
pernah kami lihat, pada daun pintunya terpaku sepatu kuda. barang kali itu pertanda bahwa
keberuntungan kami akan berubah, semoga saja!
Tanganku gemetaran ketika aku meraih pegangan pintu, kubuka pintu, sebuah tangga! “yes”
seruku “akhirnya” Stephanie menimpali dengan napas tesengal -sengal, “ini pasti tangga para
pelayan” aku menduga-duga “mungkin kita terjebak di tempat tinggal pelayan tadi” tangga
itu tampak curam dan terselubung kegelapan, aku turun selangkah demi selangkah sambil
berpegangan pada dinding.
Sebelah tangan Sthepanie menggenggam pundakku, setiap kali aku melangkah ia juga ikut.
Satu langkah lagi, dan satu langkah lagi, bunyi sepatu kets kami bergema di ruangan tangga.
kami sudah menuruni sekitar sepuluh anak tangga ketika aku mendengar suara langkah lain.
suara langkah menaiki tangga dari bawah.
18
Aku berhenti mendadak, Stephanie tidak sempat bereaksi sehingga ia  menabrakku dari
belakang, aku langsung menempelkan kedua tangan ke dinding supaya tidak jatuh. Tak ada
waktu untuk berbalik, tak ada waktu untuk pergi, suara langkah dari bawah semakin keras,
semakin berat, berkas cahaya senter menyapu Stephanie dan aku.
Aku memicingkan mata dan melihat sosok gelap mendaki tangga, menghampiri kami,
“rupanya kalian ada di sini” suaranya menggelegar. Suaranya akrab di telinga, “Otto”
Stephanie dan aku berseru berbarengan, ia berhenti di hadapan kami, “kenapa kalian ada di
atas sini?” Otto bertanya. “Entah...kami kesasar” ujarku cepat-cepat, “kami terpisah dari
rombongan” Stephanie menambahkan “kami sudah berusaha mencari yang lain” “ya kami
sudah berusaha” aku menimpali “kami sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ketemu”
Otto menurunkan senternya, ia memincingkan matanya yang kecil dan menatap kami,
sepertinya ia tidak percaya cerita kami. “kupikir tur-ku sudah kalian hapal di luar kepala”
ujarnya sambil mengucap dagu. “memang” Stephanie berkeras “Tapi kami salah jalan, kami
tersesat dan kami...”
“tapi bagaiman kalian bisa sampai di lantai tiga?” tanya Otto “ehm..” aku bergumam, aku
tidak bisa memikirkan alasan yang masuk akal, aku menoleh pada Stephanie yang berdiri satu
anak tangga di atasku. “kami mendengar suara-suara di atas, kami pikir rombongannya ada di
sini” katanya pada Otto.
Ia tak sepenuhnya bohong, kami memang mendengar suara-suara di sini, Otto mengarahkan
senternya ke bawah, “ayo, kita turun lagi, lantai tiga ini tertutup untuk umum tak boleh ada
yang masuk” “maaf” Stephanie dan aku bergumam. “hati -hati” Otto mewanti-wanti “tangga
belakang ini curam dan sudah reyot, kita kembali ke rombongan tur sekarang, Edna
memandu mereka sementara aku mencari kalian”
Edna pemandu kami yang kedua, orangnya sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulitnya
pucat, dan ia kelihatan rapuh sekali, apalagi dengan seragam pemandu yang serba hitam. Tapi
ia pintar bercerita, semua kisah seram yang diceritakannya jadi lebih menakutkan lagi,
Stephanie dan aku menuruni tangga di belakang Otto. Berkas cahaya senternya terarah ke
depan ketika ia membimbing kami ke lantai dua, kami menyusuri lorong panjang, lorong
yang kukenal baik.
Kami berhenti di depan kamar kerja Joseph Craw, Joseph ayah Andrew, aku mengintip ke
dalam, api tampak menari-nari  di tempat perapian. Edna berdiri di samping tempat perapian,
dan ia sedang menceritakan kisah Joseph Craw yang tragis kepada rombongan tur. Stephanie
dan aku sudah seratus kali mendengar cerita yang sedih itu, suatu hari, kira-kira satu tahun
setelah Andrew kehilangan kepala, Joseph pulang larut malam, waktu itu musim dingin, ia
membuka mantel, lalu berdiri di depan tempat perapian untuk menghangatkan diri.
Tak seorang pun tahu bagaimana Joseph sampai terbakar, paling tidak, itulah yang dikatakan
Otto, Edna, dan para pemandi yang lain, barangkali ia didorong ke tempat perapian, mungkin
juga jatuh sendiri. Tak ada yang bisa memastikannya, tapi ketika salah satu pembantu
memasuki ruang kerjanya keesokan pagi, ia menemukan pemandangan yang mengerikan. Ia
menemukan sepasang tangan gosong yang berpegangan pada tepi perapian.
Sepadang tangan itu mencengkeram pinggir tempat perapian yang terbuat dari marmer, hanya
itulah yang tersisa dari Joseph Craw, mengerikan, aku selalu merinding kalau mendengarnya.
Otto mengajak kami masuk, Edna tiba pada bagian akhir cerita yang membuat bulu kuduk
berdiri, “kalian mau bergabung lagi?” tanya Otto
“ehm, rasanya sudah terlalu malam, kami harus pulang” jawab Stephanie, aku langsung
membenarkan, “terima kasih kau telah menyelamatkan kami, kapan-kapan kami ikut tur lagi”
“Selamat malam”  ujar Otto sambil mematikan senter “kalian bisa keluar sendiri, bukan?” ia
segera masuk ke ruang kerja.
Aku hendak berbalik, tapi tiba-tiba anak laki-laki itu muncul lagi, nak laki -laki pucat yang
berambut pirang berombak. Anak laki-laki yang memakai jeans dan kaus turtleneck warna
hitam, Ia berdiri agak jauh dari rombongan tur, di dekat pintu, dan ia kembali menatap
Stephanie dan aku, ia menatap kami dengan tatapan dingin. “ayo” aku berbisik sambil meraih
lengan Stephanie, aku menariknya menjauhi pintu ruang kerja.
Kami segera menuju ke tangga depan, beberapa detik kemudian kami membuka pintu depan
dan melangkah keluar. Angin dingin menyambut kami ketika kami menuruni bukit, awan-awan hitam melintas di  depan bulan.  “wah asyik juga ya tadi” ujar Stephanie menarik
ritsleting jacketnya sampai ke dagu. “asyik?” aku tidak sependapat dengannya “menurutku
sih agak menakutkan”
Stephanie menatapku sambil nyengir “tapi itu membuktikan kita bukan penakut, benar kan?”
aku menggigil “ya” “rasanya aku ingin menjelajahi Hill House lagi” katanya “mungkin kita
bisa kembali ke ruangan yang penuh suara, siapa tahu kita nanti ketemu hantu sungguhan
“yeah, boleh saja” kataku asal saja, aku terlalu capek untuk berdebat dengan  Stephanie, ia
mengeluarkan syal wol dari saku jaketnya ketika ia melilitkan di leher, satu ujungnya
tersangkut pada semak-semak. Aku melepaskan ujung syal dari semak berduri, dan tiba-tiba
saja aku mendengar suara itu, bisikan pelan, bisikan pelan di balik semak-semak.
tapi aku mendengarnya jelas sekali, “kalian temukan kepalaku?” itulah yang kudengar
“kalian temukan kepalaku? kepalaku sudah ketemu?”
19
Aku menahan napas dan menatap ke tengah semak-semak “Hei Stephanie, kau dengar itu?
ujarku  pelan, tak ada jawaban “Stephanie? Steph?” aku membalik, ia menatapku dengan
tatapan kosong karena kaget. “kau juga dengar bisikan itu?” tanyaku sekali lagi, kemudian
aku sadar bahwa bukan aku yang ditatapnyam pandangannya tertuju ke belakangku.
Aku berbalik, dan melihat anak laki-laki berambut pirang yang tadi ada di Hill House berdiri
di samping semak-semak, “hei, kau yang berbisik-bisik ya? ujarku ketus. Ia memicingkan
mata abu-abunya  yang pucat “hah? aku?” “yeah, kau!” kataku “kau mau menakuti -nakuti
kami ya?” ia menggelengkan kepala, “tidak”
“jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semak-semak?” aku bertanya sekali lagi,  “aku
baru sampai di sini” anak itu berkata, kurang dari semenit yang lalu ia masih di kamar kerja
Joseph Craw, kataku dalam ahti,  bagaimana caranya keluar begitu cepat? “kenapa kau
membuntuti kami?” tanya Stephanie, anak itu cuma angkat bahu, “kenapa kau menatap kami
terus tadi?” aku bertanya sambil melangkah ke samping Stephanie. Angin menderu-deru
puncak bukit, semak-semak di samping kami bergetar, seolah-olah kedinginan, awan-awan
hitam masih terus melintas di depan bulan.
anak itu tidak memakai jaket, cuma kaus turtleneck dan celana jeans hitam, rambutnya yang
pirang berombak bergerak-gerak tertiup angin. “tadi kau melototi kami”  Stephanie
mengulangi, “kenapa?” anak itu kembali angkat bahu, matanya yang kelabu tertuju ke bawah,
seakan-akan tak berani menatap kami, “aku lihat kalian pergi diam-diam” ujarnya “kupikir
kalian... kalian melihat sesuatu yang menarik”
“kami tersesat” aku  berkata sambil melirik Stephanie “kami tidak melihat apa-apa” “Siapa
namamu?” tanya Stephanie” “Seth” ia menyahut, kami pun memperkenalkan diri. “kau
tinggal di Wheeler Falls?” tanya Stephanie, ia menggelengkan kepala, ia masih juga
menunduk, “tidak, aku cuma berjunjung ke sini” kenapa ia tidak mau menatap kami? apakah
karena ia pemalu.
“jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semak-semak tadi?” aku bertanya sekali lagi, ia
menggelengkan kepala, “bukan, mungkin ada yang mau mengolok-olok kalian” “bisa saja”
kataku, aku melaju selangkah dan menendang semak-semak itu, aku sendiri tidak tahu untuk
apa. dan ternyata memang tidak terjadi apa-apa.
“kau dan Stephanie keliling-keliling sendiri tadi, ya? tanya Seth “yeah, tapi cuma sebentar,
kami suka hal-hal yang  eh... berbau hantu” ia langsung menegakkan kepala sewaktu
mendengar ucapanku, mula-mula ia menatap Stephanie, kemudian beralih padaku.
Sejak tadi wajahnya tak bereksperi sama sekali, tapi sekarang ia kelihatan benar-benar
bersemangat, “kalian mau lihat hantu sungguhan?” ia bertanya sambil mendelik “mau?”
20
Seth menatap kamu dengan pandangan menantang “kalian mau lihat hantu sungguhan?”
“yeah, tentu” jawab Stephanie sambil membalas tatapannya, “apa maksudmu Seth?” tanyaku
“memangnya kau pernah lihat hantu?” ia mengangguk “yeah, di situ” ia menggerakkan dagu
ke arah rumah batu d belakang kami. “hah?” seruku “kau pernah lihat hantu sungguhan di
Hill House? kapan?” “Duane dan aku sudah seratus kali ikut tur” ujar Stephanie “tapi tidak
sekali pun kami lihat hantu di sana”
Seth tertawa terkekeh-kekeh “tentu saja, kalian pikir hantunya mau keluar di tengah
rombongan tur? mereka tunggu sampai turnya selesai, mereka tunggu semua pengunjung
pulang” “dari mana kau tahu?” tanyaku “aku pernah menyusup masuk” balas  Seth, “malam-malam” “hah?” seruku “kau masuk dari mana?
“aku menemukan pintu di belakang, pintunya tidak terkunci, mungkin para pemandu lupa
menguncinya” Seth menjelaskan “aku masuk diam-diam setelah semua turis pulang, dan
aku..” ia mendadak terdiam, matanya tertuju ke rumah di puncak bukit. aku membalik dan
melihat pintu depan membuka, sejumlah orang melangkah keluar sambil megencangkan
mantel atau jaket mereka. tur terakhir sudah selesai, dan sekarang orang-orang itu hendak
pulang ke rumah masing-masing.
“sebelah sini” bisik Seth, kami mengikutinya ke balik semak-semak dan jongkok di
sampingnya, para peserta tur terakhir melewati kami, mereka tertawa, asyik membahas
semua cerita hantu yang mereka dengar di Hill House tadi. Setelah mereka menuruni bukit,
kami berdiri lagi, Seth menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang, tapi angin
meniupkannya kembali ke kening
“aku masuk malam -malam, waktu rumah sudah gelap” ia mengulangi “orangtuamu tidak
marah kau keluar malam-malam begini” aku bertanya. Ia tersenyum simpul “mereka tidak
tahu”  ujarnya pelan, senyumnya meredup “kalian boleh keluar jam segini?” Stephanie
tertawa “Orangtua kami juga tidak tahu” “bagus” kata Seth.
“kau pernah benar pernah lihat hantu?” tanyaku, ia mengangguk, lalu menyibakkan
rambutnya  lagi, “aku diam -diam melewati Manny, si penjaga malam, ia sudah tidur lelap,
asyik mendengkur, kau mengendap-ngendap sampai ke tangga depan , dan tiba-tiba aku
mendengar suara tawa” aku menelan ludah “suara tawa?” “ya, dari puncak tangga, aku
langsung mundur dan merapat ke dinding, dan aku lihat hantunya, Nenek-nenek yang sudah
tua, ia pakai gaun panjang dan topi hitam, dan mukanya tersembunyi di balik cadar hitam
yang tebal, tapi matanya tetap kelihatan, soalnya matanya menyala merah, seperti api!”
“Wow!”  seru Stephanie “lalu bagaimana?” Seth berpaling ke arah rumah di puncak bukit,
pintu depan sudah ditutup lagi, lentera di atas pintu telah dipadamkan, rumah itu tampak
gelap gulita. “hantu tua itu meluncur lewat pagar tangga” Seth melaporkan “kepalanya
mendongak, dan ia tertawa cekikikan sambil meluncur, matanya meninggalkan jejak merah
membara, sepeti ekor komet”
“kau tidak takut?” tanyaku pada Seth “kau tidak berusaha kabur?” “tidak sempat” sahutnya
“ia meluncur turun lewat pagar tangga, persis ke arahku, matanya menyala-nyala, dan ia terus
berteriak  dan cekikikan, aku merapat, aku merapat ke dinding, aku tidak bisa bergerak, dan
waktu ia sampai bawah, kupikir ia akan menyambarku, tapi ternyata ia lenyap, hilang dalam
kegelapan, cuma jejak matanya yang masih tampak”
“Oh, wow!” seru Stephanie “heboh” aku menimpali, “aku mau menyusup lagi” ujar Seth
sambil melirik ke arah Hill House “aku yakin masih banyak hantu di situ, aku mau melihat
semuanya” “aku juga” Stephanie langsung menyambut penuh semangat. Seth m enatapnya
sambil tersenyum, “jadi kalian mau ikut denganku? besok malam? aku malas kalau sendirian,
bertiga pasti jauh lebih seru lagi” angin bertiup kencang, bulan tertutup awan -awan hitam,
rumah tua di puncak bukit jadi semakin gelap “bagaimana, kalian m au ikut besok malam?”
Seth menegaskan sekali lagi. “yeah, tentu!” Stephanie menyahut penuh semangat “aku sudah
tidak sabar, kau bagaimana, Duane?” ia bertanya padaku “kau juga mau ikut kan, Duane?”
21
Aku bilang ya, kubilang aku sudah tak sabar melihat hantu sungguhan, kubilang aku
gemetaran karena angin yang dingin, bukan karena ngeri, kami sepakat untuk ketemu lagi
dibelakang Hill House, besok tengah malam, kemudian Seth bergegas pergi, Stephanie dan
aku berjalan pulang. Jalanan gelap dan lengang, lampu-lampu rumah sebagian besar sudah
padam, di kejauhan terdengar anjing melolong.
Stephanie dan aku berjalan cepat-cepat, sambil membungkuk sedikti untuk melawan angin
yang kencang, tidak biasanya kami berkeliaran di luar pada malam selarut ini, besok kami
akan pulang lebih larut lagi. “Aku curiga pada anak itu” kataku ketika kami tiba di
pekarangan rumah Stephanie, “ia aneh sekali” kupikir Stephanie bakal sependapat denganku,
tapi ia malah berkata “kau cuma iri, Duane” “hah? Iri? Aku?” aku tidak percaya ia bil ang
begitu, “kenapa aku harus iri?”
“karena Seth begitu berani, karena ia pernah melihat hantu, sementara kita belum” aku
menggelengkan kepala  “kau percaya pada ceritanya? Kau percaya ada hantu yang main
perosotan di pagar tangga?” menurutku sih, ia cuma mengada-ada” “hm..” Stephanie
bergumam “besok malam kita akan dapat jawabannya” besok malam datang lebih cepat
daripada yang kuinginkan.
Siang itu aku ada ujian matematika di sekolah, dan kurasa hasilnya tidak akan bagus, karena
aku terus memikirkan Hill House, Seth dan hantu. Sehabis makan malam, mom
mendatangiku di ruang duduk, ia mengusap rambutku dan mengamati wajahku, “kau
kelihatannya capek sekali” katanya “di sekeliling matamu ada bayangan gelap” “mungkin
karena aku keturunan racoon” sahutku, aku selalu bilang begitu kalau mom menyinggung
lingkaran gelap di seputar mataku.
“lebih baik kau tidur cepat malam ini” dad menimpali, ia selalu memaksa semua orang agar
tidur cepat, jadi pukul setengah sepuluh aku sudah harus masuk kamar, tapi tentu saja aku
tidak tidur. Jadi, setengah sepuluh ak usudah masuk kamar, tap tentu saja aku tidak tidur, aku
membaca buku dan mendengarkan msuik lewat walkmanku, aku menunggu Mom dan Dad
masuk kamar, sebentar-sebentar aku melirik ke arah jam, kalau sudah tidur, mom dan dad
tidak bisa diganggu oleh apa pun juga, biar ada bom meledak di sebelah rumah mereka
takkan bangun.
Wheeler Fells prenah diterjang angin badai suatu malam, dan mereka sama sekali tidak
terusik, sungguh mereka tidak tahu ada pohon tumbang menimpa atap rumah  kami. Orang tua
Stephanie juga begitu, itulah sebabnya kami berdua begitu mudah keluar lewat jendela kamar
tidur masing-masing, itulah sebabnya begitu mudah bagi kami untu bergentayangan di malam
hari.
Tengah malam semakin dekat, aku semakin gelisah, sebenarnya ak ulebih suka gentayangan
di sekitar rumah, aku lebih suka bersembunyi di bawah jendela Chrissy Jacob, lalu melolong
seperti serigala, Setelah itu melempar laba-laba karet ke tempat tidur Ben Fuller.  Tapi
menurut Stephanie itu terlalu membosankan, kami butuh tantangan baru, katanya, kami harus
memburu hantu, Bersama anak aneh yang tak pernah kami lihat sebelumnya.
Sepeuluh menit sebelum tengah malam aku memakai jaketku dan memanjat keluar lewat
jendela kamar.  Angin dingin menyambutku, butir-butir hujan es menerpa keningku, aku
segera menutup kepala dengan tudung jaket, Stephanie sudah menunggu di depan rumahnya,
rambutnya yang cokelat ditarik ke belakang dan dikuncir, jaketnya terbuka, di baliknya ia
memakai sweter tebal untuk main ski.
Ia mendongakkan kepala dan melolong panjang “Oooooo....” aku langsung membekap
mulutnya “Ssst.. nanti semua orang bangun” ia tertawa dan mundur selangkah, “aku sudah
tidak sabar nih” kayanya lalu ia melolong lagi. Hujan es berjatuhan, kami bergegas ke arah
Hill House, angin yang kencang meniup ranting-ranting daun-daun mati yang berserakan,
hampir semua rumah yang kami lewati sudah memadamkan lampunya.
Sebuah mobil melintas pelan-pelan ketika kami membelok ke Hill Street, Stephanie dan aku
cepat-cepat sembunyi di balik pagar tanaman, pengemudi mobil pasti heran melihat dua anak
berkeliaran di tengah malam buta. Jangankan dia, aku sendiri juga heran, kami menunggu
sampai mobil itu berlalu, kemudian kami mendaki nukit yang menuju ke  Hill House, rumah
hantu itu menjulang tinggi di depan, bagaikan monster yang siap menelan kami. Tur terkhir
sudah selesai, semua lampu sudah mati, Otto, Edna, dan para pemandu lain pasti sudah
sampai rumah masing-masing.
“ayo dong Duane, cepat!” Stephanie  mendesak, ia mulai berlari melewati sis rumah “Seth
pasti sudah menunggu” “tunggu” seruku, kami menyusuri jalan setapak yang menuju ke
belakang. Aku memicingkan mata dan memandang berkeliling dalam kegelapan, Seth tidak
kelihatan. Pekarangan belakang ternyata penuh barang rongsokan, tong-tong sampah yang
tebuat dari loga, dan sudah berkarat di mana-mana,  berderet seperti pagar, sebuah tangga
kayu tergeletak di tengah alang-alang, peti-peti kayu, gentong-gentong, dan kardus-kardus
bekas berserakan di mana-mana, sebuah mesin potong rumput tersandar ke dinding.
“wah gelap sekali di sini” bisik Stephanie “kau melihat Seth?” “aku tidak melihat apa-apa”
sahutku, juga sambil berbisik, “mungkin ia berubah pikiran, mungkin ia tidak jadi datang”
Stephanie hendak menjawab, tapi teriakan tertahan dari sisi rumah membuat kami tersentak
kaget. Aku melihat Seth muncul, rambutnya yang pirang berkibar-kibar, matanya terbelalak
lebar, kedua tangannya memegang tenggorokannya.
“hantunya!” ia berseru sambil terhuyung-hunyung “aku dicekik hantu!” Seth ambruk di
depan kaki kami, dan tidak bergerak.
22
“Kau kenapa Seth?” aku bertanya dengan santai, “kenapa kau guling-gulingan di tanah?”
tanya Stephanie tak kalah tenangnya. Pelan -pelan Seth mengangkat kepala dan menatap
kami, “kalian  tidak ngeri?” “kenapa mesti ngeri?” sahutku, Stephanie geleng-geleng kepala
“itu tipuan bagus” katanya kepada Seth, “Duane dan kau sudah beribu kali menjaili orang
dengan tipuan serperti itu”
Seth kembali berdiri, menepis-nepis tanah yang menempel pada kaus turtleneck hitamnya, ia
merengut dan kelihatan kecewa, “aku cuma mau menakut-nakuti kalian” “kalau begitu jangan
pakai tipuan kuno” ujarku. “Duane dan aku jagoan menakut-nakuti orang” Stephanie
menambahkan, “bisa dibilang itu hobi kami” Seth merapika rambutnya dengan kedua
tangannya “kalian memang aneh” ia bergumam, aku menyeka butir air hujan dingin yang
menempel di alisku “siap untuk masuk?’ tanyaku tidak sabar.
Ia mengajak kami ke pintu kecil di belakang rumah “ada masalah waktu kalian menyusup
keluar  ruamh tadi? Tanyanya sambil berbisik, “tidak, semuanya lancar” jawab Stephanie,
Seth menghampiri pintu dan mengangkat palang yang terbuat dari kayu “tadi aku sempat ikut
tur lagi” katanya “Otto memeperlihatkan kamar-kamar baru yang bisa kita periksa sekarang”
“Asyik” Stephanie berseru “kau yakin kita bakal lihat hantu sungguhan?” Seth berpaling
padanya, lalu mengembangkan senyum yang aneh “aku jamin!” katanya.
23
Seth menarik pintu sampai terbuka, kami menyelinap masuk, menyelinap ke kegelapan yang
pekat,  keadaannya terlalu gelap untuk melihat tempat kami berada, aku maju beberapa
langkah dan menabrak Seth “sst..” ia memperingatkanku “Manny si penjaga malam ada di
ruangan depan, kurasa ia sudah tidur sekarang, tapi sebaiknya kita tetap di bagian belakang”
“Di mana kita? Bisikku “di salah satu ruang belakang” bisik seth “tunggu sebentarm mata
kita bakal terbiasa” “kenapa kita tidak menyalakan lampu saja?” tanyaku “karena tidak akan
ada hantu yang keluar kalau terang” jawab Seth. Kami sudah menutup pintu, tapi   embusan
angin dingin tetap menerpa tengkukku, aku menggigil, aku menahan napas ketika mendengar
bunyi kertak-kertuk, apakah bunyi itu benar-benar ada atau cuma khayalanku?
Aku membuka tudung jaket agar dapat mendengar lebih jelas, hening “aku tahu kita bisa
mendapatkan lilin” bisik Seth “kalian tunggu di sini saja, jangan bergerak!” “jangan kuatir”
aku tergagap-gagap, aku tak bakal mau bergerak sebelum mataku terbiasa melihat dalam
gelap. Aku mendengar Seth bergerak menjauh, suara langkahnya terdengar pelan, lalu hilang
saam sekali, aku kembali merasakan embusan angin dingin di tengkukku “Oh!” aku memkik
tertahan ketika suara kertak-kertuk itu terdengar lagi.
Bunyinya pelan sekali, seperti bunti tulang-belulang yang beradu, sekali lagi aku merasakan
embusan  angin di tengkukku, embusan napas hantu! Kataku dalam hati, aku merinding dan
seluruh tubuhku gemetaran. Tulang belulang itu berkertak-kertuk lagi, kali ini lebih dekat,
sangat dekat. Aku menggapai-gapai meja, atau apa saja, tapi yang kutemukan  hanya udara,
aku menelan ludah, tenang saja, Duane, kataku dalam hati, sebentar lagi Seth sudah kembali
membawa lilin, setelah itu kau bisa lihat bahwa tak ada yang perlu ditakuti.
Tapi bunyi itu terdengar lagi, aku langsung menahan napas, “Steph, kau dengar itu?” bisikku,
tak ada jawaban, angin dingin meniup tengkukku, tulang-belulang itu berkertak-kertuk lagi,
“Steph? Kau dengar itu? Steph?” tak ada jawaban “Stephanie? Steph?” aku memanggil tapi
ternyata ia sudah lenyap.
24
Waktunya untuk panik! Napasku mulai terengah-engah, jantungku berdegup-degup, lebih
keras dari bunyi tulang-belulang itu, seluruh tubuhku gemetaran. “Stephanie? Steph? Di
mana kau?” aku memanggil dengan suara tertahan. Kemudian keulihat sepasang mata kuning
bergerak mendekatiku, sepasang mata yang menyala-nyala, melayang tanpa suara, bersinar-sinar jahat, semakin dekat, dekat..
Aku berdiri sperti patung, aku tak bisa bergerak, aku tak bisa melihat apa pun selain kedua
mata kuning yang bersinar-sinar itu. “Ohh!” aku mengerang, sepasang mata kuning  itu terus
maju, dan semakin dekat, baru kulihat ternyata itu lilin menyala, dua lilin menyala
berdampingan, sekarang aku bisa melihat wajah Seth dan wajah Stephanie, mereka berjalan
sambil membawa lilin menyala di tangan masing-masing.
“Stephanie, ke mana  kau tadi?” seruku parau “A-Aku pikir..” “aku ikut Seth” sahutnya
dengan tenang. Cahaya lilin yang berwarna jingga  menerangi wajahku, Stephanie bisa
melihat betapa paniknya aku “Maaf, Duane” ujarnya pelan “kan sudah kubilang, aku mau
ikut Seth, kupikir kau dengar” “ada suara kertak-kertuk” aku tergagap-gagap “kedengarannya
seperti tulang-belulang, tengkukku terus kena angin dingin, dan terus terdengar...”
Seth menyodorkan sebatang lilin “nyalakan!” katanya “Setelah itu kita mulai menyelidiki
tempat ini, kita  cari sumber bunyi itu!” aku menerima lilin itu dan menempelkan sumbunya
ke lilin Seth, tanganku gemetaran begitu kerasm sehingga aku harus mencoba lima kali
sebelum sumbunya menyala, tapi akhirnya berhasil juga.
Aku memandang berkeliling dalam cahaya jingga yang menari-nari “hei, kita di dapur” bisik
Stephanie. Lagi-lagi tengkukku kena embusan angin dingin “tuh kan, kalian merasakan
juga?” tanyaku, Seth memakai lilinnya untuk menunjuk ke jendela dapur, “lihat Duane, kaca
jendela itu berlubang, angin masuk  lewat lubang itu” “oh” angin kembali berembus, dan
bunyi kertak-ketuk itu terdengar lagi, “tuh kalian dengar itu?” Aku bertanya.
Stephanie tertawa cekikikan, ia  menunjuk ke dinding dapur, dalam cahaya redup aku melihat
panci-panci besar tergantung di dinding “Panci-panci itu membentur dinding karena tertiup
angin” Stephanie menjelaskan “itu yang kaudengar”
“haha” aku memaksakan tawa “aku sudah tahu kok, aku cuma  mau menakuti kalian” aku
berdalih “supaya terkesan lebih seram saja” aku merasa konyol sekali, tapi tak mungkin aku
harus jujur bahwa tadi aku ketakutan gara-gara panci itu. “oke, jangan bercanda lagi” kata
Stephanie sambil berpali
ng pada Seth “kami mau lihat hantu sungguhan”
“ikut aku! Aku akan memperlihatkannya sesuatu yang Otto ceritakan padaku!” bisiknya,
sambil memgang lilin dapur, menuju ke dinding di samping kompor, ia menurunkan lilinnya
di depan sebuh pintu lemari. Kenudian ia membuka pintu itu dan  mendekatkan lilin, supaya
kami bisa melihat ke dalam.
“untuk apa kau tunjukkan lemari daput ini?”  tanyaku “apa hubungannya dengan hantu?” “ini
bukan lemari” jawab Seth “ini pengungkit, coba saja lihat!” ia meraih ke dalam dan menarik
tali yang tergantung di samping rak, seketika rak itu mulai naik. Seth menaikkan rak itu, lalu
menurunkannya lagi “lihat kan!, pengungkit ini semacam lift mini, dulu dipakai untuk
mengerek makanan dari dapur ke kamar tidur utama di atas”
“maksudnya kalau majikan rumah tiba-tiba lapar?” aku berkelakar, Seth mengangguk
“makanannya ditaruh di rak ini oleh juru masak, lalu menarik tali dan raknya bergerak ke
atas” “tapi apa hubungannya dengan hantu?” aku bertanya sekali lagi. “yeah” Stephanie
menimpali “untuk apa kau perlihatkan pengungkit ini?” Seth mendekatkan lilin ke wajahnya
“otto bilang pengungkit ini ada hantunya, seratus dua puluh tahun yang lalu ada kejadian
aneh di sini”
Stephanie dan aku langsung mendekat, aku menurunkan lilin dan memeriksa pengungkit itu,
“kejadian apa?”  tanyaku. “begini, si juru masak biasanya menaruh makanan di rak dan
membawanya ke atas dengan ini, tapi anehnya waktu sampai di atas, makanannya sudah
hilang”
Stephanie menatap Seth sambil memicingkan matanya “jadi, makanannya menghilang
diantara lantai ini dan lantai atas?” Seth mengangguk, matanya yang kelabu tampak bersinar-sinar dalam cahaya lilin “kejadian berulang kali terjadi , makanannya hilang tanpa bekas entah
kenapa”
“wow!!” aku bergumam, “sang juru masak jadi ketakutan, ia takut pengungkit ini b erhantu
dan ia tak mau lagi menggunakannya, dan ia juga menyuruh pelayan yang lain untuk tidak
menggunakannya lagi” “sudah? Selesai? Hanya seperti itu?” tanyaku Seth lalu melanjutkan
“lalu terjadi sesuatu yang menyeramkan” “apa?” Stephanie bertanya sambil  melongo. “ada
beberapa anak yang berkunjung ke sini, diantara mereka ada anak bernama Jeremy, jeremy
ini suka berulah, dan nekat, waktu ia menemukan pengungkit ini, dia naik pengungkit ini ke
lantai atas sana”
“kasihan!” Stephanie bergumam, aku merinding aku seakan bisa menebak apa yang terjadi
“Jeremy duduk di rak dan salah satu temannya menarik tuas pengungkit, tiba-tiba
pengungkitnya macet dan tidak mau naik atau turun, jeremy terjebak ditengahnya” “anak lain
memanggil, apa kau baik-baik saja? Tapi jeremy tidak menyahut, mereka mulai kuatir,
mereka menarik dengan sekuat tenaga tapi sayang tidak bergerak sama sekali”
“tiba-tiba saja pengungkitnya jatuh keras sekali” “jeremy masih duduk di sana?” aku
langsung memotong. Seth menggelengkan kepala “di rak itu ada tiga mangkuk yang tertutup,
teman-teman jeremy mengangkat tutup pertama dan melihat jantung jeremy yang masih
berdetak, mereka lalu membuka tutup piring kedua dan melihat mata jeremy yang melotot
ngeri, lalu tutup yang terakhir mereka melihat gigi Jeremy yang masih bergemeletuk ngeri”
Kami bertig pun membisu, tanpa berkedip membayangkan dan menatap rak di depan kami,
tiba-tiba, aku menggigil, panci -panci tadi kembali bunyi karena membentur dinding, aku
menatap Seth “kau yakin cerita itu benar terjadi?”  Stephanie tertawa, tertawa gelisah “mana
mungkin kan?” katanya. Seth masih serius, “kau percaya cerita-cerita Otto yang lain? Ia
bertanya padaku “ehmm..  ada yang kupercaya ada juga yang tidak” aku menjawab dengan
ragu.
“Otto kan pandai bercerita, tapi aku  tidak mau dengar cerita, aku mau lihat hantunya” kata
Stephanie “ikut aku!” kata Seth, lilinnya nyaris pada ketika ia berbalik, ia mengajak kami
melintasi dapur, masuk ke ruangan yang panjang dan sempit di bagian belakang, “tempat ini
dulu dipakai sebagai  pantri, semua makanan untuk para penghuni ada di sini” Seth
menjelaskan. Stephanie dan aku berjalan melewati ruangan, ketika aku berbalik, aku melihat
Seth menutup pintu kemudian melihatnya mengunci pintu itu, “hei, mau apa kau? Aku
bertanya “kenapa kau mengunci kami di sini?” Stephanie bertanya dengan kesal.
25
Lilinku terlepas dan jatuh, apinya langsung padam, lilinnya menggelinding ke bawah lemari,
aku melihat Stephanie menghampiri Seth “Seth, apa-apaan sih, buka pintunya, tidak lucu!”
katanya gusar. Aku memandang berkeliling di ruangan yang sempit dan memanjang, di tiga
dinding ada rak yang menjulang dari lantai sampai langit-langit, tak ada jendelam tak ada
pintu lain untuk meloloskan diri, sambil  berteriak, Stephanie berusaha meraih pegangan
pintu, tapi Seth menghadangnya.
Matanya yang keperakan tampak bersianr di balik linlinnya, ia menatap kami tanpa bicara,
sorot matanya dingin dan tajam, Stephanie dan aku mundur selangkah, dan saling mendesak
“maaf, aku telah berbohong” Seth berkata. “apa?” Stephanie berseru heran, tapi ia kesal,
“berbohong apa?” Seth menyibakkan rambutnya, api lilin di tangannya yang lain
menimbulkan bayangan yang menari-nari di wajahku, “namaku bukan Seth” ujarnya.
“ta-tapi..” aku tergagap-gagap “namaku Andrew” kata Seth, “tapi   Andrew kan nama si
hantu” Stephanie dan aku sama-sama  berteriak  kaget “hantu yang kehilangan kepalanya”
“akulah hantu itu” Seth menjawab, lalu ia tertawa, bunyinya lebih mirip orang batuk daripada
tertawa “aku kan sudah janji akan memperlihatkan hantu sun gguhan, inilah.. aku!!”
Ia meniup lilinnya sampai padam, dan bersamaan dengan matinya api lilin, ia menghilang
dari pandangan, “tapi.. Seth...” kata Stephanie, “andrew” anak itu meralat “namaku Andrew,
sudah lebih dari seratus tahun aku bernama Andrew” “lepaskan kami” aku memohon “kami
takkan cerita bahwa kami melihatmu, janji...” “kalian tidak akan bisa pergi”
Tiba-tiba aku jadi teringat cerita arwah hantu kapten, saat Andrew masuk ke kamar si hantu
kapten dan melihatnya, si hantu kapten mengatakan kata-kata yang sama “kau  sudah
melihatku, kau tak akan bisa pergi”
“S-Seharusnya kau kan tidak punya kepala” aku berkata, “berarti kau bukan Andrew”
Stephanie menambahkan “kau masih punya kepala!” dalam cahaya redup dari lilin Stephanie,
aku melihat Andrew tersenyum jahat “kalian salah!” katanya pelan “salah jika mengira aku
tidak punya kepala, ini hanya kupinjam” lalu ia menempelkan tangannya ke pipi, “nih,
lihatlah!” ujarnya. Kemudian ia mulai mencopot kepalanya.
26
“Jangan!” Stephanie berteriak, aku memejamkan  mata, tak sanggup melihat, tapi ketika aku
memebuka mata, Andrew sudah menurunkan tangannya, sekali lagi aku memandang
sekelilingku, bagaimana caranya agar bisa melarikan diri? Bagaimana kami harus kabur? Si
hantu ini menghalangi satu-satunya jalan keluar.  “kenapa kau mengelabui kami? Tanya
Stephanie “kenapa kau membawa kami kesini?” Andrew menghela napas “kan sudah
kubilang, kepala ini cuma kupinjam” ia mengusap rambutnya dengan sebelah tangan, lalu
menepuk-nepuk pipi, “kepala ini cuma pinjaman, aku harus mengembalikkannya”
Stephanie dan aku menatapnya membisu, kami menunggu ia melanjutkan ceritanya, kami
menunggu ia menjelaskan alasannya kenap harus kami. “Semalam aku melihatmu di tengah
rombongan tur” Andrew berkata sambil melihatku “yang lain tidak bisa melihatku, cuma kau
yang bisa” “kenapa?” aku bertanya dengan suara gemetar, “karena kepalamu!” ia menyahut
“aku suka kepalamu” “hah? Apa?” suaraku parau karena ngeri, ia kembali mengusap
rambutnya yang pirang “kepala ini harus kukembalikan, Duane, jadi sekarang kepalamu
kupinjam” katanya dengan tenang dan tatapan yang dingin.
27
Saking takutnya, entah kenapa aku sampai tertawa, kenapa orang yangh ketakutan malah
tertawa? Mungkinkah kalau tida ketawa kita bakal menjerit, meledak atau semacamnya. Aku
terperangkap di ruangan sempit dan gelap bersama hantu berumur seratus tahun yang
mengincar kepalaku, kau menatapnya sambil memicingkan mata “kau bercanda kan?” ia
menggelengkan kepala, lalu menatapku dengan tajam “aku perlu kepalamu, Duane” ujarnya
pelan, ia angkat bahu dan pasang  tampang seolah-olah menyesal “aku akan mencopotnya
secepat mungkin sampai kau tidak akan merasakan apa-apa, Duane”
“Ta-tapi aku juga perlu kepaku!” aku tergagap-gagap karena ngeri “aku pinjam sebentar kok,
nanti kukembalikan kalu ku  sudah mendapatkan kepalaku yang asli, aku janji!” “dan kau
pikir karena itu aku menuruti keinginanmu?” tanyaku, ia kembali maju menghampiriku,
Stephanie dan aku mundur selangkah, kami tidak bisa mundur lagi, di belakang kami sudah
ada rak yang menghadang.  Tiba-tiba Stephanie bicara “Andrew, kami akan cari kepalamu!”
ia menawarkan kepadanya dengan suara gemetaran.
Aku melihat Stephanie, seumur hidup, baru kali ini aku melihatnya setaku sekarang, dan
karena itu aku jauh lebih takut lagi. “yeah, pasti” aku menimpali Stephanie  “kami akan cari
kepalamu yang asli, kami akan mencarinya sepanjang malam, kami hapal rumah ini, aku
yakin kami pasti menemukannya, asal kau beri kesempatan pada kami” ia menatap kami
tanpa berkata apa pun.
Rasanya aku ingin berlutut di depannya dan memohon agar ia memberi kesempatan pada
kami, tapi aku takut justru ia akan langsung mencopot kepalaku kalau aku melakukannya.
“kami akan menemukannya, Andrew, pasti” Stephanie menegaskan kembali, Andrew
menggelengkan kepala, kepala pinjamannya  “itu tidak mungkin” ia bergumam sedih “kalian
tahu, sudah berapa lama aku berusaha mencarinya? Lebih dari seratus tahun, aku mencarinya
disetiap lorong, kamar setiap lemari atau rak, tapi tak kutemukan”
Ia maju selangkah lagi, matanya tak beralih dari kepalaku, aku tahu ia sedang mengamatinya
sambil membayangkan bagaimana rasanya kalau kepalaku sudah menempel di pundaknya.
“aku saja tidak menemukannya, kenapa aku harus percaya kalian dapat menemukannya”
“karena.. ehm.. “ Stephanie berpaling padaku.
“ehm.. mungkin kami akan lebih beruntung” aku berseru meski tahu betapa konyol, betul -betul konyol jawabanku. “maaf, buang-buang waktu saja, aku lebih perlu kepalamu, Duane!”
“beri kami kesempatan!” teriakku, ia maju selangkah lagi, sekarang ia mengamati rambutku,
mungkin ia ingin membiarkannya tumbuh lebih panjang.
“Andrew, jangan!!” aku memohon, percuma saja, matanya menatap kosong, ia mengangkat
kedua tangannya dan melangkah maju, Stephanie dan aku merapat ke rak “serahkan
kepalamu!!” hantu itu berbisik, kau tidak bisa mundur lagi, “aku perlu kepalamu, Duane!!”
Stephanie dan aku saling mendesak, hantu itu semakin mendekat, kami sampai berjinjit untuk
menjauhi tangannya, tiba-tiba sikuku membentur sesuatu, aku mendengar barang-barang
berat jatuh dari rak “Aku perlu kepalamu, Duane!” ia mengepalkan tangan, dau langkah lagi
ia akan bisa mencengkeram leherku.
“Kepalamu! Serahkan kepalamu!!” aku memejamkan mata, kemudian terdengar bunyi
berderak, dan kemudian rak itu mulai bergeser, aku mundur dan tersadar, seluruh dinding ikut
bergerak, “A-ada apa ini?” aku bertanya tergagap, si hantu Andrew meraih kepalaku, “nah,
kena kau!”
28
Si hantu melompat maju dengan tangan siap menyergap, aku merunduk dan mundur
terhuyung-huyung, karena dinding belakang terus bergeser, dinding itu berderak-derak
sambil berputar pelan, Stephanie jatuh ke lantai yang keras, aku cepat-cepat membantunya
berdiri sementara Andrew kembali mencoba menyambar leherku.
“ada terowongan!” aku berseru, bagian dinding yang bergeser itu ternyata  pintu sebuah
terowongan rahasia, besarnya pas untuk dilewati sambil membungkuk, aku menarik
Stephanie, kami segera menyelinap masuk, kami berada di dalam terowongan yang panjang
dan rendah, terowongan yang tersembunyi di balik dinding yang bisa bergeser. Aku memang
pernah dengar bahwa rumah-rumah tua sering dilengkapi lorong-lorong rahasia dan ruang-ruang tersembunyi, namun ak utak menyangka aku diselamatkan oleh terowongan seperti itu.
Stephanie dan aku lari, langkah kami berdebam-debam  di lantai yang keras, kami melewati
dinding-dinding beton yang sudah retak-retak krena dimakan waktu, kami terpaksa
membungkuk sambil berlari, langit-langit terowongan itu terlalu rendah untuk lari sambil
berdiri. Stephanie mengurangi kecepatan, menoleh ke belakang, “apa dia mengejar?” “sudah,
lari saja!!” seruku “terowongan ini pasti menuju keluar dari rumah!” “tapi aku tak bisa
melihat apa-apa” balas Stephanie terowongan ini membentang lurus, tapi yang kulihat di
ujungnya hanyalah kegelapan yang pekat, apa mungkin terowongan  ini tidak berujung? Jika
benar, aku akan terus berlari , sampai bisa keluar.
Kalau sudah sampai di luar aku takkan kembali ke Hill House, takkan mau lagi berurusan
dengan hantu, dan aku akan  terus  jaga kepala  ini, jelas aku masih membutuhkannya.
Semuanya sudah kurencanakan, tapi ada kalanya rencanya tidak sesuai harapan, “Ohh!”
Stephanie berteriak kaget ketika nyaris menabrak dinding.
Kami telah sampai di ujung terowongan! Dan ternyata tidak ada jalan keluar, “terowongan ini
buntu!!” aku  berteriak, dengan napas tersengal-sengal, kau menggedor-gedor tembok itu
dengan kedua tangan, “untuk apa orang membuat terowongan rahasia yang buntu?” “coba
dindingnya kita dorong, mungkin sama seperti tadi, bisa digeser” seru Stephanie. Kami
menempelkan bahu ke dinding dan  mendorong dengan sekuat tenaga, aku sampai
mengerang-erang, aku masih mendorong-dorong ketika terdengar suara langkah di
terowongan belakang kami, Andrew!!
“dorong!!” teriak Stephanie “Ayo!! Bergeserlah, ayo!!” aku berkata dalam kepanikan yang
luar biasa,  aku melongok ke belakang, dan melihat Andrew, ia berlari ke arah kami “Kita
terperangkap” keluh Stephanie, ia mendesah lalu duduk sambil bersandar ke dinding yang
menghalangi kami, Andrew semakin dekat
“Duane, aku butuh kepalamu!!” ia berteriak, suaranya memantul-mantul di dinding
terowongan, “kita terperangkap” keluh Stephanie lesu, “belum tentu” ujarku sambil
menunjuk ke sudut gelap “lihat! Ada tangga di sana!” “hah?” Stephanie kaget dan lagsung
berdiri kembali, ia memicingkan mata, mengamati tangga itu,  Sebuah tangga tegak lurus,
dengan pijakan dari logam yang tertutup debu tebal, tangga itu melewati lubang kecil
berbentuk bujur sangkar di langit-langit yang rendah, ke manakah tangga itu berujung?
“Duane, serahkan kepalamu!!” si Andrew berseru mengancam,  terburu-buru aku
berpegangan pada tiang logam di kedua sisi tangga, aku menaruh kaki pada pijakan pertama
dan memandang ke atas. Tapi yang kelihatan hanya kegelapan, tak ada apa-apa selain
kegelapan yang pekat, “Duane.. kita tidak tahu tangga ini menuju ke  mana!” “masa bodoh!
Memangnya kita punya pilihan?”
29
Mau ke mana kau Duane? Aku perlu kepalamu!” tanpa menghiraukannya kami terus
memanjat sampai-sampai Stephanie menabrakku dari bawah. Sepatu ketsku tergelincir pada
lapisan debu yang tebal, tanganku berulang kali merosot pada tiang tangga yang dingin dan
licin. “Duane, kau takkan lolos” Andrew mengancam dari bawah tangga, naik terus! Tegak
lurus! Kami memanjat secepat kami bisa, meski napas kami terus memburu, naik terus!
Sampai kami sadar tangga itu miring, “Ohh!!” aku berteriak ketika tangga itu tiba-tiba maju
ke depan tapi teriakanku dikalahkan oleh bunyi tubrukan yang keras, dan aku sadar,
dindingnya amruk, hancur... dan kami... jatuh... aku mendengar Stephanie berteriak ngeri.
Aku menyambar tiang tangga dengan kedua tangan dan berpegangan erat-erat, tapi tangganya
meluncur ke bawah, “aduh!” aku terempas ke dasar terowongan, secara refleks, aku
melepaskan tangan dan terpental dari tangga, aku berguling di tengah reruntuhan tembok.
Stephanie mendarat dengan lututnya, ia menggelengkan kepala karena kesakitan, reruntuhan
tembok berjatuhan di sekeliling kami, rambut Stephanie penuh debu, aku melindungi mata,
menunggu hujan batu dan semen berhenti.
Ketika aku membuka mata, Andrew sudah berdiri di hadapanku,  kedua tangannya terkepal,
mulutnya menganga, pandangannya tertuju... ke belakangku.., aku bangkit dengan susah
payah, lalu berbalik untuk mengetahui apa yang dia lihat. “Ruang rahasia!” Stephanie
berteriak, lalu melangkah ke sampingku, “ternyata ada ruang  rahasia di balik dinding tua ini”
kami maju sambil melangkahi reruntuhan dinding, dan kemudian kami melihat apa yang
menarik perhatian Andrew,
SEBUAH KEPALA!!
Kepala anak laki-laki yang tergeletak di tengah -tengah lantai ruang rahasia, “astaga! Kita
menemukannya! Kita berhasil menemukannya!” teriak Stephanie. Aku menelan ludah, lalu
melangkah pelan-pelan, meskipun hanya diterangi cahaya redup, kepala itu tampak putih
pucat, jelas kelihatan bahwa kapala anak laki-laki, tapi rambutnya yang panjang dan
berombak sudah putih semua, dan matanya berpendar hijau di wajahnya yang pucat, bagaikan
sepasang batu zamrud.
“kepala si hantu” aku bergumam dan segera berpaling pada Andrew “Kami menemukannya!”
tadinya kupikir ia akan tersenyum, kupikir ia akan melompat giran g, sesuatu yang dicarinya
selama seratus tahun akhirnya telah ditemukan dan mengakhiri pencariannya yang telah lama
sekali. Tapi diluar dugaan, wajahnya malah berkerut ngeri, ia bahkan tak memperdulikan
kepalanya yang sudah lama hilang, pandangannya malah  tertuju ke atas kepala itu, lalu ia
berteriak  ketakutan “Ada apa, Andrew?” tapi ia tidak memperdulikanku, ia terus menatap
langit-langit, kemudia ia mengangkat sebuah tangan sambil menunjuk “Ohh! Ya
ampuuunnn”
Aku menoleh untuk melihat apa yang membuatnya  ketakutan seperti itu, dan kulihat sosok
putih melayang dari langit, kupikir ada tirai tipis yang jatuh, tapi ketika sosok itu menyentuh
lantai, aku sadar sosok itu bertangan, dan memiliki kaki, dan tubuhnya hampir transparan,
tiba-tiba angin dingin berhembus “A-Ada hantu! Hantu!!” Stephanie  berteriak  sambil
menyambar tanganku
30
Tanpa bersuara, hantu itu mendarat di lantai ruang rahasia, kedua tangannya merentang
seperti sayap, Stephanie dan aku sama-sama  berteriak  tertahan ketika hantu itu berdiri tegak
dan mengangkat tanggannya, hantu itu pendek, dan kurus, ia memakai celana panjang model
kuno dan kemeja lengan panajang bererah tinggi,
Berkerah tinggi! Hanya kerah! Tak ada kepala!
Aku merasakan hembusan angin dingin ketika ia  membungkuk, memungut kepala yang
tergeletak di lantai, gerakannya amat ringan. Lalu mengangkat kepala itu, memasangnya
dengan hati-hati, setelah tertempel, matanya yang hijau tiba-tiba menyala, pipinya berkedut,
alis matanya yang putih pucat naik-turun, dan kemudian mulutnya mulai bergerak, hantu itu
berpaling kepada aku dan Stephanie, lalu ia mengucapkan
“TERIMA KASIH, TERIMA KASIH”
Lalu ia mengangkat kedua tangannya, matanya yang hijau masih memandang kami untuk
beberapa saat, lalu ia melayang kembali, sosoknya ringan seperti kapas dan tidak
mengekuarkan suara sedikitpun, kami terbengong-bengong, jantungku berdegup kencang,
dengan mata melongo aku memandang hantu itu menghilang dalam kegelapan.
Kami sekarang berpaling pada ‘Andrew’, kami baru saja melihat  hantu tanpa kepala, kami
baru saja melihat Andrew yang sebenarnya, anak laki -laki yang meninggal seratus tahun lalu
itu, melihatnya mengambil kepalanya!. Tapi anak laki -laki yang mengaku bernama Andrew
ini masih bersama kami, ia masih berdiri di belakang  kami, tubuhnya gemetar, matanya
masih melongo ngeri. Aku menatapnya sambil memicingkan mata “kau bukan hantu
Andrew! Kalau kau bukan hantu tanpa kepala, siapa kau sebenarnya hah?
31
Stephanie langsung melabraknya “yeah, siapa kau sebenarnya? Katakan!” tanyanya gusar
namun kesal “kalau kau bukan hantu tanpa kepala, kenapa kau mengejar-ngejar kami?” aku
mendesaknya untuk menjelaskan. “Uhh.. ehmmm... aku...” ia terbata-bata sambil mengangkat
tangannya seolah-olah menyerah, kemudian ia mundur, ia baru mundur tiga langkah ketika
kami mendengar suara langkah dari terowongan.
“siapa di sana?” sebuah suara berat menggelegar, aku melihat sinar senter menuju dasar
terowongan. “Siapa di situ?” suara itu bertanya sekali lagi, aku megenali suara itu, Otto!
“ehm... kami di sini!” kata anak itu “Seth..itu kau ya?” lingkaran cahaya di dasar terowongan
semakin dekatm Otto muncul di belakang anak itu, dan ia menatap  anak itu  sambil
memicingkan mata “Ada apa ini? Kenapa kau  ada di sini? Tempat ini sangat berbahaya,
semua dindingnya sudah hampir ambruk”
“Ughh.. kami cuma ingin menyelidiki tempat ini” Seth menjelaskan “tapi kemudian kami
tersesat, ini  bukan salah kami” Otto menatap Seth dengan tatapan tajam, kemudian ia
membelalakkan mata karena heran ketika melihat Stephanie dan aku juga ada di sini “Lho,
kalian! Bagaimana kalian bisa masuk? Kenapa bisa sampai ada di sini?”
“ia... ehm.. ia mengajak kami masuk lewat pintu belakang” sahutku sambil menunjuk Seth.
Otto kembali berpaling pada Seth, lalu menggelengkan kepala, “Mau iseng lagi? Kau mau
menakut-nakuti mereka?
“tidak juga paman Otto!” jawab Seth sambil menunduk, paman? Berarti Seth keponakan Otto
pantas ia tahu banyak tentang Hill House “terus terang Seth, kau berlagak jadi hantu lagi kan?
Kau belum kapok juga rupanya menjahili anak-anak?” Seth terdiam tanpa bisa berkata apa-apa, “kita mengadakan tur di sini untuk mencari uang, apa jadinya kalau tak ada yang datang
karena ulahmu ini? Tanyanya ketus sambil mengusap kepalanya yang botak dan licin
Seth tetap terdiam, aku sadar ia dalam masalah besar, jadi aku memutuskan untuk
menolongnya, “kami baik-baik saja, Otto, kami tidak takut kok” “ya” Stephanie segera
menambahkan “kami tidak percaya Seth hantu, ya kan Duane? Mana mungkin kami tertipu
olehnya?”
“apalgi ketika kami melihat hantu yang sebenarnya” Setephanie bercerita
Otto mengarahkan senternya ke wajah Stephanie, “kalian lihat apa?”
“hantunya! Kami melihat hantunya!” Stephanie menerangkan “ya, kami melihat hantu yang
asli, paman Otto, ia sangat menyeramkan!” Otto geleng-geleng kepala, “Sudahlah Seth,
jangan bercanda, sekarang sudah larut, kau cuma ingin mengelak dari hukuman saja kan?”
“kami serius!” aku menimpali “Ya, kami benar-benar melihat hantunya” seru Stephanie
“kami lihat si hantu Andrew, hantu tanpa kepala itu, paman Otto” Seth memohon untuk
percaya
“Ya.. ya...” Otto bergumam keheranan sekaligus bingung, ia berbalik, memberi isyarat
dengan senternya “Ayo! Kita keluar saja!”
32
Setelah pengalaman kami yang menakutkan di Hill House, Stephanie dan aku berhenti
bergentayangan di sekitar rumah. Rasanya sudah tidak seru, apalagi setelah kami bertemu
hantu sungguhan, kami tidak lagi menyelinap keluar malam-malam, kami tak lagi memakai
topeng-topeng seram dan muncul di jendela anak-anak tetangga, kami tak lagi bersembunyi
di balik semak-semak, lalu melolong seperti manusia serigala di tengah malam.
Kami tidak mau lagi berurusan dengan  hal-hal menakutkan, dan kami tak pernah lagi
berbicara tentang hantu. Stephanie dan aku mencari hobi baru, aku ikut tim basket sekolah,
Stephanie bergabung dalam klub drama, musim semi ini ia akan memerankan Dorothy dalam
The Wizard of oz, entah Dorothy atau sepotong munchkin. Kami bersenang-senang selama
musim dingin, saljunya tebal, dan tak satu kali pun kami menakut-nakuti orang.
Lalu suatu malam, kami pulang dari sebuah pesta ulang tahun, malam itu malam pertama
berudara hangat di musim semi, bunga-bunga tulip bermekaran di pekarangan yang kami
lewati, udara terasa segar dan berbau wangi. Aku berhenti di depan Hill House dan menatap
rumah tua itu, Stephanie berhenti di sampingku, ia langsung tahu apa yang kupikirkan “kau
mau ke sana kan, Duane?”
Aku mengangguk “bagaimana kalau kita ikut tur, kita tak pernah ikut lagi sejak...” aku tidak
menyelesaikan kalimatku. “hei, kenapa tidak?” balas Stephanie, kami mendaki bukit yang
terjal, rumput tinggi menggesek-gesek celana jeansku ketika aku menuju ke pintu depan.
Ruamh tua yang besar itu tetap gelap dan seram, seperti biasanya
Ketika kami melangkah ke teras depan, pintu berderak dan membuka sendiri, seperti
biasanya, kami masuk ke ruang depan, beberapa detik kemudian Otto muncul, ia berpakaian
serba hitam, ia menatap kami sambil tersenyum ramah. “kalian!” serunya gembira “selamat
datang” ia memanggil ke dalam “Edna, coba lihat siapa yang datang!” Edna keluar sambil
tertatih-tatih “Oh!” serunya sambil menempelkan tangan ke wajahnya yang pucat dan penuh
keriput “kami sudah takut kalian tak mau datang lagi kemari”
Aku memandang berkeliling, tak ada pengunjung lain, “kami mau ikut tur, kau bisa
mengantar kami?” aku bertanya pada Otto. Ia tersenyum lebar, “tentu saja, tunggu, aku ambil
lentera dulu” Otto membawa kami keliling Hill  House, hampir semua ruangan kami masuki.
Aku senang kembali ke sini, tapi rumah ini tak lagi menyimpan rahasia bagi kami. Seusai tur,
kami berterima kasih kepada Otto dan Edna lalu mengucapkan selamat malam.
Kami sudah hampir sampai di kaki bukit ketika sebuah mobil polisi berhenti di tepi jalan,
seorang petugas berseragam gelap menyembulkan kepalanya dar ijendela penumpang “kalian
dari mana?” ia bertanya. Stephanie dan aku menghampiri mobil itu, kedua petugas yang
duduk di dalamnya menatap kami dengan curiga.
“kami baru ikut tur” aku menjelaskan sambil menunjuk Hill House “Tur? Tur apa?” petugas
itu bertanya dengan ketus. “itu lho, tur rumah hantu” balas Stephanie tak sabar. Kepala
petugas polisi itu menyembul lebih jauh lagi dari jendela, ia bermata biru, mukanya penuh
bintik-bintik.
“terus terang saja, apa yang kalian lakukan di sana?”
“kami kan sudah bilang, kami ikut tur, cuma itu” aku berkeras
Petugas polisi di balik kemudi tertawa terkekeh-kekeh “mungkin mereka diantar hantu”
katanya pada rekannya, “di sana tidak ada tur, sudah beberapa bulan terakhir tak ada tur di
rumah itu” kata petugas bermata biru, aku dan Stephanie berteriak kaget.
“rumah itu kosong” petugas itu melanjutkan “Usaha tur itu sudah ditutup, sepanjang musim
dingin tak ada siapa-siapa di sana, Hill House bangkrut tiga bulan lalu”
“HAH?” Stephanie dan aku terbengong-bengong, kemudian kami berbalik dan menatap ke
arah rumah di puncak bukit. Menara batunya yang kelabu menjulang ke langit yang ungu
kehitaman, tak ada apa-apa selain kegelapan.
Kemudian kulihat cahaya redup di jendela depan, cahaya lentera, jingga dan lembut bagaikan
asap. Dan dalam cahaya yang lembut itu, aku melihat Otto dan Edna, mereka melayang
melewati jendela, tubuh mereka tembus pandang, seakan-akan terbuat dari kain kasa, ternyata
mereka juga hantu, pikirku terus menatap cahaya yang lembut itu.
Aku berkedip dan cahaya itu pun padam
THE END

0 komentar:

Posting Komentar